Inverting The Pyramid
Buku ini membahas tentang sejarah taktik di sepakbola, perubahan yang terjadi, serta alasan dibaliknya. Buku ini juga menyebutkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah sepakbola, serta kejadian kejadian yang membentuk pemikiran dari para tokoh tadi. Istilah piramida diambil dari formasi yang marak di awal sejarah sepakbola. Siapa sangka, formasi dengan satu penyerang yang sering kita lihat temui sekarang berawal dari formasi dengan hanya satu pemain bertahan. Dengan memahami konteks dari peristiwa yang terjadi, kita akan melihat keindahan sepakbola dengan perkembangan formasinya di lapangan.
Sejarah Singkat
Banyak sejarah mengklaim mengenai awal mula sepakbola. Namun yang perlu kita sepakati adalah peraturan sepakbola yang sekarang berawal dari Inggris (cambridge rules). Peraturan inilah yang membingkai sepakbola menjadi sebuah olahraga terstruktur.
Di era Victoria, tahun 1800an. Pemerintah di berbagai daerah menciptakan olahraga sebagai sarana untuk menjaga kebugaran fisik serta ketangkasan bagi para pemuda. Lalu sepakbola muncul sebagai pecahan dari rugby. Jika rugby memindahkan bola dengan tangan, maka sepakbola menggunakan kaki. Keduanya sama-sama berusaha memasukkan objek ke ujung wilayah musuh. Olahraga ini diajarkan di sekolah-sekolah. kemudian menyebar di luar sekolah, dan para pemainnya berkumpul membentuk suatu komunitas/klub.
Formasi Awal
Pada awalnya, tidak ada formasi yang terbentuk. Seluruh pemain dari kedua tim berebut ingin mengantarkan bola ke tujuan (goal=tujuan=gawang). Ketika olahraga ini dimainkan di level sekolah dimana ada senioritas, para senior menyuruh satu juniornya untuk berjaga di gawang. Maka muncullah peran penjaga gawang yang boleh menghalau bola menggunakan tangan. Kemudian peraturan tentang kiper dibentuk.
Setelah ada kiper, kesadaran akan pertahanan mulai muncul. Tim akan membuat hadangan bagi musuh yang datang. Dan ada juga ide untuk membuat dua lapis pertahanan, sehingga muncul istilah halfback dan fullback. Sehingga formasi umum waktu itu adalah 1-2-7 atau bahkan 1-0-9.
Catatan: Istilah fullback sering dianggap bek sayap di masa sekarang karena sejarah perubahan taktik, namun istilah ini awalnya muncul untuk membedakan bek yang ada di tengah (half-back) dan di ujung (full-back).
Peraturan Offside
Peraturan offside diciptakan untuk mencegah pemain ‘mengerami telur’ di wilayah musuh. Peraturan offside (sebelum 1925) mengharuskan pemain berada di depan 3 pemain musuh saat menerima bola, jika tidak maka pemainan off (berhenti). 3 orang ini termasuk satu kiper, sehingga seringnya pemain yang bertahan di ujung (fullback) akan berjumlah dua orang. Formasi dua fullback menjadi tren.
Sisi Lebar Lapangan
Garis offside berupa horizontal, sedangkan lapangan cukup lebar untuk diekploitasi. Ketika bek musuh ada di kiri, maka bola bisa dikirim ke sisi kanan. Begitu terus hingga memadatkan persepsi semua orang tentang tiga wilayah vertikal; sisi kiri, sisi kanan, dan sisi tengah.
Dampaknya pada taktik, tim akan membagi 3 penyerangnya. 2 di kiri, 2 di kanan, dan sisanya 6 orang fokus di tengah. namun dari 6 orang itu akan dibagi lagi berdasarkan lapisan pertahanan. Biasanya 2 diujung (fullback), 2 di tengah (halfback), dan 2 tetap menyerang. Formasi menjadi 2-2-6 atau 1-2-7.
Kehadiran Gaya Skotlandia
Inggris dan Skotlandia memiliki sejarah rivalitas, termasuk saat Skotland menujukkan gaya yang berbeda dari cara Inggris bermain bola. Cara bermain pada waktu itu adalah pemain bertahan akan mengoper bola ke pemain depan, lalu ia akan menggiring bola sendirian hingga ke gawang musuh. Jika musuh berhasil merebut bola, maka musuh akan mengoper ke pemain depannya lagi, dan begitu seterusnya. Inggris berusaha menggiring bola sampai ke depan, sedangkan Skotland menghadirkan passing sebagai andalannya mengantarkan bola ke depan.
Dampaknya muncul posisi center-half, pemain dengan tugas memberikan passing kepada pemain depan. Karena tugas khususnya, pemain di posisi ini dituntut memiliki skill passing yang bagus. Center-half adalah pemain depan yang tidak lari sampai ke gawang musuh, ia akan berada di belakang striker untuk melihat-lihat opsi mengirim umpan.
Biasanya pemain yang mengambil posisi ini berasal dari salah satu penyerang tengah, meski juga bisa dari posisi lain. Formasi menjadi 2-2-1-5 (atau bisa juga 2-1-1-6). Mengacu pada 3 wilayah vertikal bertahan-tengah-penyerang, maka orang-orang lebih suka dengan menyebut 2-3-5. Formasi inilah yang akan mengendap dan menjadi formasi dasar bagi semua tim.
Perkembangan berikutnya tidak banyak mengubah formasi, hanya memantapkan fungsi dari tiap posisi. Peran center-half kini lebih ke tengah dan sering berdampingan dengan half-back. Kemudian salahsatu pemain sayap bermain lebih ke tengah menjadi inside-forward di kedua sisi. Dua inside-forward ini menempati wilayah yang disebut halfspace.
Perseteruan gaya passing vs dribbling ikut menyebar ke seluruh penjuru bumi. Setiap sepakbola yang tumbuh di belahan dunia lain, menyerap kedua paham tadi dengan caranya masing-masing.
WM dan Bek Ketiga
Herbert Chapman, pelatih asal Inggris, mengenalkan dunia sepakbola tentang strategi. Ia bosan melihat pemain Inggris yang hanya berlari menggiring bola sampai kemudian dijegal musuh. Dan untuk menghentikan pemain sayap itu, ia menyuruh dua fullbacknya untuk menempel mereka. Namun kemudian ia kehabisan stok bek untuk menjaga penyerang tengah milik musuh. Maka ia memundurkan satu halfback ke belakang. Chapman kemudian menyuruh dua pemain inside-forward untuk sedikit mundur mengawasi center-half musuh, menyisakan 3 penyerang di depan. Formasi kini menjadi 3-2-2-3, atau yang lebih dikenal dengan WM.
Dengan formasi ini, maka akan terciota kondisi 1 lawan 1 di sisi permainan sendiri, kondisi ini kelak berkembang menjadi man-marking. Dengan begini, maka bola lebih mudah direbut dan memperlancar serangan balik. Bek ketiga, man-marking, dan serangan balik menjadi poin penting dari revolusi yang dijalankan Chapman.
Kegemilangan formasi WM menjadikannya salahsatu formasi yang diikuti banyak tim selain 2-3-5.
Di Masa Dua Perang Besar
Perang besar menghentikan perkembangan sepakbola, namun tidak sepenuhnya mati total. Aspek militer masuk ke sepakbola dalam bentuk penggenjotan fisik. Seperti Italia pada piala dunia 1934 dan 1938 di bawah pemerintahan fasis. Kini pemain lebih mampu untuk bertarung sepanjang 90 menit. Inovasi Italia lainnya ketika mampu memisahkan fase menyerang dan bertahan, dan secara bersamaan berhasil mensintesa 2-3-5 dan WM. Italia memiliki Luisito Monti yang mampu menjadi third-back saat bertahan (WM), dan menjadi centre-half saat menyerang (2-3-5).
Dunia sepakbola sedang sibuk menyerap antara formasi WM atau 2-3-5, dan antara passing atau dribbling, serta antara kekuatan fisik dan kelihaian teknik. Beberapa telah berhasil menyerap dengan sempurna atau setidaknya telah menentukan pilihannya. Namun muncul sesuatu yang tak kalah inovatif, yakni upaya untuk menipu sistem. The organized disorder (kekacauan yang dirancang) dari Soviet dan gaya bermain Sindelaar yang suka memancing bek keluar (mirip false 9) merupakan pengecohan pada sistem yang semakin baku. Perilaku menyimpang yang muncul ketika orang-orang mengikuti taktik mainstream.
Tidak ada formasi spesifik yang lahir, namun pengenalan konsep ini memberikan bayangan betapa luas variasi yang akan tercipta di kemudian hari.
4 Penyerang, MengapaTidak?
Sistem 2-3-5 dan WM sama-sama mengandalkan 1 penyerang tengah. Kesulitan berikutnya adalah menemukan satu sosok yang tepat untuk menempati posisi itu sesuai rencana taktik. Jadi daripada pusing mencari 1 orang yang tepat, mengapa tidak gunakan saja 2 penyerang tengah. Ide ini diterapkan Hungaria dengan menurunkan strikernya lebih dalam dan mendorong dua inside-forward nya ke depan. Sehingga mereka kini bermain dengan 4 penyerang bersama pemain sayap.
Konsep “yang satu lebih menyerang dan yang satunya lebih bertahan” terjadi pada gelandang di taktik WM (3-2-2-3). Di Brazil, salah satu inside forward bermain lebih maju ke depan sehingga sering dianggap striker. Dan salah satu dari duet half-back bermain lebih dalam melindungi para bek. Formasi secara kasat mata menjadi 3-1-2-1-3, dengan diamond yang dibentuk oleh 4 gelandang. Namun secara tugas, pola 4-2-4 mulai terbentuk.
Di soviet, formasi 4 penyerang bisa saja terjadi dari variasi the organised disorder, namun kemunculannya masih jarang-jarang. Yang pasti, formasi dengan 2 penyerang tengah telah banyak terjadi di mana-mana.
Era 4 Bek.
Hungaria secara efektif mengubah satu gelandang bertahannya menjadi bek. Ini terjai setelah kekalahan di final piala dunia 1954. Satu gelandang dan satu bek tengah menimbulkan banyak lubang yang beresiko, oleh karena itu dua pemain itu diplot untuk bermain sejajar. Hungaria secara perlahan menjadikan 424 sebagai pakemnya.
Di Brazil alasannya sedikit berbeda. Karena budaya dribbling yang kuat, bek sayap disana ikut melakukannya sehingga di sisi pertahanan hanya tersisa satu bek. Oleh karena itu, gelandang yang posisinya lebih bertahan sering dijadikan bek menemani si bek asli. Membuat formasi dua bek tengah menjadi lebih rutin dijalankan, tentunya dengan tugas yang berbeda. Formasi 4-2-4 mulai banyak terlihat di Brazil.
Di piala dunia 1958, Brazil menggunakan formasi 4-2-4, lebih tepatnya ‘the 424 diagonal’ yang terkenal itu. Ini terbentuk dari diamond yang dibentuk oleh gelandang tengah, ditambah dengan sedikit sentuhan untuk mengakomodir dribbling para pemain sayap. Kesuksesan Brazil menjadikan 4-2-4 semakin populer dan formasi WM yang dianggap usang mulai ditinggalkan.
Anti 4-2-4
Setelah juara piala dunia 1958, Brazil kemudian menjadi juara lagi di 1962 dengan pakem 4-2-4 tetap sebagai andalan. Lalu adalagi dongeng Bela Guttman, pelatih spesial yang telah memenangkan liga di 5 negara berbeda. Pelatih asal Hungaria ini menjadi spesial karena ia hanya butuh satu atau dua tahun untuk menjadi juara, waktu yang relatif singkat untuk sebuah persiapan klub menjadi juara. Keberhasilannya memang seolah seperti dongeng, namun rahasia kesuksesannya adalah formasi 4-2-4.
4-2-4 kini dianggap formasi paling overpower dari semua taktik sepakbola yang ada. Dan yang paling seru dari itu semua, munculnya usaha untuk mengalahkan taktik ini, formula anti 4-2-4 harus ditemukan.
Formula itu muncul dari negara kelahiran sepakbola, Inggris. Inggris kala itu sedang heboh dengan ilmu statistik sepakbola yang digagas oleh Charles Reep. Ia dianggap seperti dukun karena mampu memprediksi dan menentukan hasil pertandingan. Reep menebar benih direct football.
Penemu formula itu adalah Alf Ramsey dengan ‘The Wingless Wonders 4-1-3-2’ nya. Untuk mensiasati pemain sayap musuh, satu gelandang jangkar diletakkan. Ruang dribbling pemain sayap ini menjadi sempit, mereka terkurung. Langkah berikutnya, dua striker diletakkan di depan untuk memberikan tekanan konstan pada bek musuh. Sehingga pemain bertahan musuh tidak berpikir untuk membantu penyerangan. Ramsey tidak menggunakan pemain sayap, dan disinilah letak ide brilian nya. Gelandang di kedua sisi bermain lebih ke tengah, tugas mereka adalah menunggu sayap musuh bek sayap musuh maju meninggalkan ruang kosong, untuk kemudian menyergapnya. Dampaknya adalah bek sayap musuh menjadi malu-malu untuk maju membantu sayap mereka yang sudah terkurung. Lalu itu semua disempurnakan oleh gelandang tengah yang berfungsi sebagai penyerang bayangan. Gelandang tengah ini bermain lebih ke belakang untuk membantu keseimbangan lini tengah, dan di saat yang tepat akan muncul sebagai senjata rahasia. Perkembangan berikutnya bervariasi, namun formasi 4 bek tetap menjadi mainstream.
Pressing
Bangkitnya sepakbola modern ditandai dengan strategi pressing, atau segala upaya untuk mempersempit wilayah gerak musuh. Klub yang paling populer menggunakan pressing adalah belanda di 1974 Rinus Michel dan Johan Cruyff. Dan Ajax dianggap sebagai tempat kelahirannya. Namun jauh sebelum Ajax, konsep ini telah muncul di Dynamo Kiyv di bawah asuhan Viktor Maslov. Melihat kesuksesan dari penerapan pressing, Viktor Maslov didapuk sebagai bapak sepakbola modern. Banyak orang hanya terpaku pada Eropa barat, namun bukan tidak mungkin hal itu terjadi di belahan bumi yang lain.
Konsep pressing membuat zonal marking lebih agresif, dimana pemain tidak sekedar menunggu tapi juga mengejar jika masuk area tertentu. Pembagian area-area itu telah diatur lebih detail oleh tiap pelatih. Konsep lainnya adalah mengenai konsep ‘universalitas’ dimana pemain bisa saling mengisi posisi, saling melindungi dan menjaga. Pemain harus mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh teman saat mem-pressing musuh. Termasuk ide pemain depan yang bergantian menyerang dengan pemain tengah.
Catenaccio dan Tootalvoetball
Di awaal dekade 60an, muncul filosofi catenaccio yang merupakan bentuk strategi bertahan secara terorganisir. Ciri dari filosofi ini adalah adanya pemain libero yang berperan bebas mengkondisikan pertahanan. Formasinya beragam namun di bagian belakang ada libero yang berdiri di belakang pemain bertahan. 1-2-5-2, atau 1-2-4-3, selalu ditandai satu pemain libero di posisi paling belakang. Keunggulan jumlah pemain di belakang menjadi modal untuk melakukan 1on1 marking. Kekuatan utamanya mengandalkan serangan balik cepat secara vertikal ke depan, makanya biasanya formasinya ramping dan berkonsentrasi di tengah, biasanya hanya ada satu pemain sayap (atau bek sayap) di tiap sisi.
Catenaccio selalu dikritik karena dianggap membosankan hanya menunggu kesalahan musuh. Oleh karena itu, kemunculan tootalvoetball dianggap sebagai filosofi sebanding.
Tootalvoetball merupakan bentuk strategi menyerang yang kreatif. Nyawa utama tootalvoetbal adalah sistem pressing yang membuat permainan tampak ngotot dan bergairah. Dengan melakukan pressing maka pemain akan banyak meninggalkan posisinya, namun kekosongan posisi itu akan diisi oleh pemain lain. Sehingga tejadilah konsep ‘total’, dimana pemain saling bertukar posisi, saling menjaga, terkoneksi dengan baik oleh semua pemain di setiap lini.
Tidak ada formasi spesifik, namun Rinus michel menggunakan 442 saat pertama kali menjalankan ini. Dan selanjutnya ia ikut mengadopsi peran libero, menjadi 1-3-4-2. Pada perkembangnnya, dua gelandang tengah dirasa kurang dalam menjaga keseimbangan, maka satu striker diturunkan, penyerang tunggal kini akan ditemani oleh dua pemain sayap. 1-3-3-3 atau 4-3-3 menjadi formasi andalan Belanda di 1974.
Argentina juga menggunakan formasi 433 (kadang 4123 atau 4213) saat juara piala dunia 1978. Bedanya, ia menekankan jaringan passing dan peran playmaker.
Sayap yang Hilang
Pemain sayap mulai kehilangan pamor. Pada taktik tanpa sayap milik inggris, sayap bisa berasal dari geladang yang main melebar. Pada konsep universalitas tootalvoetbal, tidak ada pemain sayap khusus karena semua pemain bisa saling mengisi. Pada catenaccio yang mengandalkan umpan langsung, wingback merangkap jadi sayap.
Namun alasan yang paling besar adalah kemunculan pressing, tidak ada lagi ruang untuk berlari bagi pemain sayap. Di Brazil, banyak dribller yang kehilangan trek lari menghasilkan formasi 4-2-2-2, 2 gelandang serang ditugaskan pada area yang lebih luas.
3-5-2
Revolusi taktik selalu ditandai dengan penambahan jumlah pemain bertahan, dari 2-3-5 lalu tambahan bek ketiga pada konsep WM, dan beragam alasan untuk menambahkan bek keempat. Tapi Argentina mengklaim bahwa mereka menguranginya lagi menjadi 3 bek, mendorong bek sayap menjadi sejajar gelandang.
3-5-2 bukan taktik baru, namun kesuksesan maradona cs mejuarai piala dunia 1986 menjadikan taktik ini populer sebagaimana Brazil dengan 424-nya di 1958. 3-5-2 menjadi mainstream dengan berbagai variasinya.
5-3-2
3-5-2 sebenarnya sudah banyak berkembang, namun memang Argentina-lah yang mengakui pertama gelandang sayap. Pemain di winger sering memiliki starting point lebih dalam sehingga mirip wingback. Begitu juga wingback yang memiliki lisensi menyerang lebih tinggi hingga tampak seperti winger. Pemain dengan tugas atau mental lebih bertahan akan bermain sejajar dengan bek, menciptakan 5 bek sejajar. Meski klub masih malu-malu mengakui formasi 5-3-2, nyatanya piramida kini sudah berbalik.
Playmaker, Dimana Kamu.
Bermain untuk menang, dan bermain secara indah. Perdebatan dua kubu ini terus berlanjut. Perkembangan taktik masih terjadi, namun peran playmaker makin tersingkirkan.
Perkembangan analisis dan statistik telah membuat sepakbola menjadi sebuah sistem yang baku dan kemenangan bisa dipelajari. Direct football dianggap sebagai ‘formula paling efektif’ untuk menang, ini memunculkan gaya kick-n-rush. Perwujudan ide ini adalah formasi 5-4-1 inggris dan formasi 4-5-1 norwegia di awal 90an. Keduanya sama-sama mengirim bola langsung jauh ke depan, tidak memerlukan playmaker.
4-4-2 the dream team AC Milan, dan 4-4-2 (kadang 4-1-3-2) manipulasi ruang milik Dynamo Kiyv menampilkan permainan menawan. Semua pemain bisa melakukan tugas bertahan dan menyerang. Maka itu semua pemain bisa menjadi playmaker, atau bahkan tidak perlu ada playmaker di tim.
Runtuhnya 3-5-2
3-5-2, dengan ciri 3 bek tengah dan 2 pemain di sisi (wingback atau winger), sudah menjadi mainstream dan membosankan. 352 mulai menemui kelemahannya saat melawan tim dengan 1 striker. 3 bek tengah akan boros untuk menghadapi 1 striker, kelebihan jumlah di area pertahanan berimbas pada lepasnya possession di lapangan tengah serta tumpulnya lini serang. 4-3-3 adalah formasi yang paling efektif membunuh 3-5-2.
Universalitas.
Revolusi terus berlanjut. Meski di permukaan tampak sedikit sekali muncul formasi baru, namun di dalam struktur formasi itu dinamika bergerak hebat. 3-5-2 sebagai formasi mainstream mulai membosankan karena pertarungan akan selalu sama, 2v3 antara striker dan bek, serta 3v3 di tengah. Namun yang menarik adalah pertarungan di sayap membuka kembali jalur untuk winger, serta kejenuhan di tengah memantik kembali peran playmaker.
Universalitas, sebuah istilah tentang pemain yang tidak lagi terpaku pada peran dan posisi. Pemain bisa berpindah atau bertukar posisi, atau menjalankan banyak peran sekaligus. Awalnya mungkin konsep ini menjadi solusi bagi kejenuhan 352 yang mainstream, namun pada perkembangan selanjutnya konsep ini berdiri sendiri di tiap tim dengan masalahnya masing-masing.
Unversalitas menjadi landasan terciptanya peran dan formasi yang fleksibel. Bielsa meracik 352 menjadi 3313 demi memaksimalkan peran enganche, Kroasia menerapkan dua playmaker untuk mencairkan serangan yang buntu, AS Roma menciptakan formasi tanpa striker dengan menurunkan posisi Totti. Cristiano Ronaldo memulai tugas striker dari posisi sayap di Manchester.
Posting Komentar
Posting Komentar