Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 17

Chapter 17: The Turning World

Chapter ini menceritakan mengenai taktik sepakbola yang semakin berputar cepat. Di saat sepakbola semakin baku, keindahan semakin mudah ditebak, dan hiburan semakin monoton, kejutan muncul dari hal tak terduga. Resistensi terhadap kebosanan menghasilkan sebuah retakan, dan keluarlah fantasi secara bertubi-tubi, sepakbola kembali berkilauan. Bagaimana dunia merespon dunia yang semakin? 

Inovasi dalam sepakbola terus terjadi, namun juga diiringi dengan suatu hal yang menjadi usang. Pressing telah merenggut trek lari para pemain sayap, dan kini juga berusaha merebut kreatifitas fantasista. Redupnya fantasista dikhawatirkan akan membuat sepakbola ikut meredup. Kemenangan Jerman di piala dunia 1990 yang kering gol, serta kemenangan Denmark di Euro 1992 yang terlalu efektif, menunjukkan pragmatisme yang semakin mengalahkan estetika. Bahkan Brazil yang terkenal paling kreatif pun memainkan dua gelandang yang keduanya bertipe bertahan. Masa depan sepakbola nampaknya semakin suram. Namun memasuki milenia baru, sepakbola tetap bermain menyerang seperti dua dekade sebelumnya. Peran winger dan fantasista hidup kembali.

Perhelatan EURO 2000 menunjukkan sebuah harapan. Juara bertahan Jerman tampak sudah renta. Inggris dengan gelandang lincahnya pun masih terkesan lamban. Italia dengan inovasi pertahanan yang baru 3-4-1-2, melaju sampai ke final. Dan diantara banyak kejutan lain yang bisa dinikmati, penampilan pemain sayap dan playmaker hidup kembali.

Pada aspek pertahanan, inovasi muncul pada pemain yang mempunyai tugas merusak pertahanan lawan, dimana pemain tersebut tadinya hanya sedikit sedikit membantu pertahanan. Dan dengan pertarungan yang tak terhindarkan di setiap lini, membuat dinamisme pertandingan di lapangan seperti menemui jalan buntu. Maka itu diperlukan pemain dengan tugas kreatif yang mampu memberi perubahan; playmaker. Tugas playmaker untuk mengatur ritme dan menentukan arah permainan merupakan tugas yang sulit dan bahkan hampir mustahil dilakukan. Hingga muncul Andrea pirlo yang bermain sebagai registra modern, di area gelandang yang lebih dalam.

Kemunculan playmaker merupakan hasil dari perdebatan lama. Upaya untuk memasukkan seni kedalam sistem, tanpa membuatnya menjadi mudah diprediksi. Sistem yang terlalu sempurna tidak selalu bagus, karena akan berubah malapetaka ketika pemain lupa naskah. Dan terlalu mengandalkan individu juga tidak baik, sebab ketika karunia tuhan terhenti maka mereka akan berpindah harap pada belas kasihan musuh.

Di Italia, registra yang hadir di posisi lebih dalam, bertugas menentukan arah bola setelah para bek memenangkan bola. Di argentina dikenal istilah enganche (hook/kait) yang beroperasi diantar penyerang dan gelandang, bertugas menjadi tumpuan dan mengaitkan seluruh serangan. Peran ini populer sejak Juan Calos Lorenzo menggunakannya di Argentina pada piala dunia 1966, dengan formasi andalan 4-3-1-2. Meski Bilardo mempopulerkan 3-5-2 dengan inovasi gelandang sayap, tradisi enganche tidak hilang, ini diperankan oleh Maradona. Di masa modern, peran ini semakin sulit ditemukan. Calos Tevez lebih sebagai striker pendukung, dan Lionel Messi dimainkan sebagai sayap yang belok ke tengah (cutting inside) oleh Barcelona.

Adalah Juan Roman Riquelme, yang disebut sebagai enganche sejati terakhir. Perlakuan yang ia terima adalah gambaran bagaimana enganche tersingkirkan. Ia disalahkan atas kegagalan klub setelah penalti yang gagal di semifinal UCL 2006 saat melawan Arsenal. Di timnas, ia ditarik keluar di menit 72 saat Argetina bertemu Jerman di piala dunia 2006, dan bukannya diganti oleh pemain tipe playmaker lainnya, ia digantikan oleh Cambiassio yg bertipe bertahan, membuat formasi menjadi 442 secara efektif. Sistem 4312 dan enganche tidak lagi dipercaya. Sisi positifnya, ada potensi dari formasi yang fleksibel, dan peran playmaker juga bisa lebih fleksibel.

Pakem 3-5-2 telah populer di Argentina, namun lebih menyerupai 3412 dengan penekanan pada peran enganche. Pakem ini yang mendasari Marcelo Bielsa menerapkan formasi 3313 di piala dunia 2002, sebuah taktik yang cukup radikal di level itu. Ia bersekperimen dengan menambah trequartista menjadi 3322. Tapi Bielsa merasa masih ada kelemahan di sisi lebar. Maka itu ia mendorong satu striker dan satu trequartista ke samping, 3322 menjadi 3313, sehingga playmaker utama kini memiliki banyak opsi umpan, lingkungan yang sesuai untuk peran enganche.

taktik 3313 Marcelo Bielsa

Fleksibilitas formasi pun dialami Kroasia. Saat sukses meraih juara 3 di piala dunia 1998, Kroasia menggunakan formasi 3322 (varian 352 dengan 2 gelandang menyerang). Di piala dunia 2006, formasi mengalami sedikit perubahan, Niko Kovac yang sudah senior dimainkan lebih mundur, menjadi 3412. Satu gelandang bertahan lainnya merupakan bek di klubnya. Sehingga secara taktik, Kroasis bermain 7 bertahan dan 3 menyerang. Taktik ini memberi perlawanan cukup sengit saat kalah 0-1 dari Brazil. Namun di pertandingan berikutnya, 1 playmaker dan 2 penyerang mengalami kebuntuan.

Kroasia kemudian diambil alih oleh Slevan Bilic, ia menginginkan penerapan 4 bek. Formasi yang ia terapkan lebih menyerupai 4132. Mempertahankan 2 penyerang dan menempatkan Kovac di depan bek. Di posisi gelandang, Bilic menempatkan Kranjcar di sisi kiri, Luka Modric di tengah, dan Darijo Srna di kanan. Kehadiran Srna yang aslinya seorang bek kanan membuat formasi sedikit tidak seimbang, namun kemampuan organisasional Modric mampu menutupinya. Kranjcar dan Modrid bermain sebagai playmaker. Kehadiran Kovac yang intuitif dan Srna yang tanpa lelah, membuah lini tengah Kroasia lebih fleksibel dan kreatif.

Penyesuaian taktik Kroasia

Playmaker menghidupkan kembali peran fanstasista, di saat sepakbola menjadi sistem yang bisa dipahami, ketika sepakbola menjadi semakin naif, maka keindahan tidak lagi sederhana. Perlu ada keindahan yang terintegrasi pada sistem. Sepakbola semakin baku, pemain gelandang menjadi multifungsi bisa menyerang dan bertahan, dan penyerang terdiri dari kombinasi si kuat dan si cepat, sepertinya peran playmaker tidak dibutuhkan. Riquelme dan peran playmaker mungkin tersingkirkan, namun bukan kematian, sepakbola hanya sedang berganti generasi.

Playmaker awalnya didesain untuk pertarungan 1 lawan 1, ketika menang maka permainan akan terbuka. Namun pada jaman sekarang dua pemain bisa ditugaskan untuk menempel satu playmaker. Dengan zonal marking, efektifitas playmaker semakin tak berdaya. Mengandalkan 1 orang playmaker membuat permainan mudah dipatahkan karena hanya bergerak satu dimensi. Untuk itulah Kroasia menampilkan 2 playmaker. Formasi yang fleksibel membuat peran fantasista makin memukau.

Formasi 352 telah populer semenjak Maradona menjuarai piala dunia. Beberapa dekade setelahnya, beberapa variasi muncul dengan perubahan posisi gelandang dan penyerang, namun formasi dengan 3 bek dan 2 gelandang sayap menjadi mainstream. Pada awal milenium, 352 mulai ditinggalkan. Penyebab yang paling terlihat adalah borosnya 3 bek saat menghadapi 1 penyerang. 2 wingback harus turun menutupi serangan dari sayap. Biasanya salah satu bek akan bermain lebih ke depan untuk mencari job tambahan, namun pada akhirnya bek itu diplot menjadi gelandang, menyisakan 2 bek tengah.

Kelemahan 352 saat bertemu formasi 1 striker.

Populernya formasi satu penyerang juga dipengaruhi oleh fleksibilitas formasi. Seperti munculnya center-half jaman dulu, salah satu penyerang tengah bermain lebih mundur untuk menciptakan kombinasi yang lebih bagus. Tapi tidak jarang juga penyerang itu berpindah ke area lebih jauh, menjadi gelandang atau sayap. 451, 4411, 433, 4231 merupakan beberapa variasi itu. Munculnya formasi 5 gelandang menciptakan taktik yang semakin dinamis, membuat peran playmaker makin penting.

Formasi yang fleksibel semakin umum dan alasan dibalik perubahan formasi pun semakin beragam. Formasi 4411 bisa berasal dari 442 yang salah satu strikernya bermain lebih dalam. Namun 4411 juga bisa berasal dari 451 jika satu gelandang naik ke depan. Sudut pandang pelatih dalam mengatur ruang, mengkategorikan lini, dan mendistribusikan pemain semakin canggih. Dan kerjasama para pemain pun lebih sinergis dan harmonis.

Perbedaan sudut pandang menciptakan formasi yang berbeda-beda 

Apa yang mendasari perubahan formasi itu adalah spesialisasi pemain. Tiap pemain memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri, dimana tugas pelatih untuk memaksimalkan komponen itu. Pirlo misalnya, seorang playmaker jenius harus didampingi Gattuso dan Cambiasso untuk memaksimalkan kualitasnya. Makelele dapat merebut bola dengan gesit, namun akan buntu jika diberi tugas mengatur ritme.

Perdebatan mengenai kolektivitas tim mencuat. Untuk menciptakan sepakbola harmonis, idealnya tiap individu memiliki skill yang cukup untuk melakukan semua tugas di lapangan. Namun jika mengharuskan pemain x dipasang bersama pemain y, menerapkan pemain z untuk tugas tertentu, itu adalah sepakbola reaktif.

Selain spesialisasi itu, ada juga konsep universalitas. Dimana pemain mampu menjalankan tugas pemain lain. Inilah yang menjadi kunci dari sepakbola yang harmonis. Ini juga yang membangunkan kembali dan playmaker di generasi kini. Playmaker tidak hanya mengatur permainan, ia juga harus bisa berlari, dan pada taraf tertentu, ia juga harus bisa bertahan. Dengan universalitas, pemain tidak terikat pada tugas dan peran, pemain bisa menjelajah sebanyak mungkin ruang dilapangan, dan bisa saling melengkapi satu-sama lain. Inilah yang menjadi ciri kental dari Belanda 1974 dan AC Milan di bawah Sacchi.

Universalitas juga merevolusi peran di hampir setiap lini. Hampir tidak ada tim elit yang menggunakan dua bek stopper, salah satunya pasti memiliki tugas untuk passing atau menggiringnya ke depan. Demikian juga dengan sektor penyerangan. Striker tidak lagi bisa menunggu umpan manis depan gawang seperti Filippo Inzaghi, penyerang hebat terakhir di generasinya. Pemain sehebat Michael Owen pun harus redup karena ia ketinggalan kereta. Tugas penyerang tidak hanya fokus mencetak gol. Mereka harus bisa mencari peluang sendiri, menjadi tumpuan umpan, menarik perhatian bek musuh, serta merusak pertahanan lawan.

Jika dulu formasi piramida 2-3-5 memiliki 5 penyerang, maka di jaman modern formasi tanpa striker bukanlah tidak mungkin. AS Roma menerapkan 4141 dengan Totti di ujung. Jika seabad lalu Sindelaar bermain untuk menarik bek musuh keluar, maka Totti menjalankan peran yang mirip, menciptakan ruang untuk kemudian para gelandang naik menyerang. Dengan membedakan fungsi penyerang dan gelandang, maka 4-6-0 akan tampak.

Manchester United menampilkan serangan yang atraktif. Kombinasi Rooney dan Tevez menampilkan pasangan yang saling pengertian, terkadang menjadi duet striker, kadang duet gelandang, dan kadang keduanya. Gelontoran gol juga datang dari sayap mereka, Cristiano Ronaldo, yang bergerak masuk ke kotak penalti musuh.

Konsep universalitas membuka berbagai kemungkinan taktik

Universalitas sepertinya menjadi masa depan sepakbola. Namun sayangnya Inggris lagi-lagi lamban untuk merespon. Di Inggris, penyerang adalah penyerang, fokus mencetak gol. Tidak perlu banyak mengolah bola, mengirim umpan atau bahkan memberi pressing. Begitu juga pemain di posisi lainnya. Dan hasilnya seperti sudah diramalkan, gagal lolos EURO 2008.

Related Posts

Posting Komentar