Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 16

Chapter 16: The Coach Who Wasn’t A Horse

Seorang pelatih hebat, tidak harus berasal dari pemain sepakbola yang handal. Layaknya joki yang hebat tidak perlu terlahir sebagai seekor kuda. Chapter ini berkisah tentang romansa Arrigo Sacchi dan AC Milan yang dikenang sebagai the dream team (tim impian). Sebuah perwujudan mimpi dari kerinduan 10 tahun tanpa mahkota Italia, dan 20 tahun tanpa mahkota Eropa. Serta perwujudan mimpi tentang keindahan permainan yang telah direnggut oleh zaman. Mimpi dari seorang Sacchi, dan kita semua yang cinta sepakbola.

Nils Liedhom merupakan salah satu pemberontak tehadap sistem usang Italia. Ia menerapkan zonal marking di AS Roma dan berhasil membawanya ke final European Cup. Dari situ publik Italia mulai tersadar untuk merevisi taktiknya. Lalu pada saat Sacchi melatih Milan, Italia baru benar-benar meninggalkan sistem libero dan man-marking. Mereka membangun sistem pertahanan zonal marking yang terintegrasi. Dimana tugas marking bisa berpindah ke pemain lain seiring pemain musuh yang ikut berpindah.

Sacchi mencintai sepakbola sejak kecil, tim favortinya adalah Honved, Madrid, dan Brazil. Namun yang paling menarik menurutnya adalah tim Belanda 1974. Persamaan dari semua tim tadi adalah gaya passing yang mendominasi serta pergerakan dinamis para pemainnya. Sacchi percaya bahwa sepakbola bukan hanya tentang individu yang jago, namun juga tentang sistem yang diciptakan oleh para pemain itu. Seperti konser, sepakbola bukanlah tentang artis solo namun lebih seperti orkestra.

Sistem bertahan telah menjadi budaya Italia, ini disebabkan karena mentalitas orang-orang italia yang santai dan damai. Mentalitas itu merespon sepakbola (serangan musuh) sebagai sebuah ancaman dan ketakutan, mengantarkan pada keputusan yang sembrono. Itulah yang mengikis semangat kreatifitas dan kebebasan di hati para pemain. Semua orang yang menonton sepakbola memiliki ikatan emosional dengan pemain di lapangan. Ada perasaan yang menyambar ketika bola menyentuh kaki pele, atau kaki Maradona, atau kaki Ronaldo dan lainnya. Inilah yang luput dari sepakbola Italia. Sepakbola harus kembali menemukan jiwanya.

Silvio berlusconi, Presiden AC Milan, terpesona dengan apa yang ia lihat saat Parma asuhan Sacchi mengalahkannya di copa Italia. Berlusconi kelak menawari Sacchi untuk melatih AC Milan. Sacchi menerimanya, ia memuji komitmen dan dukungan Berlusconi atas upayanya menciptakan tim yang menghibur. Sebuah tim tidak hanya harus menang, namun juga harus menang dengan mengesankan.

Berlusconi berkata bahwa seorang joki tidak mesti lahir sebagai kuda. Sachhi yang menyadari dukungan ini langsung membalasnya dengan gelar scudetto, sebuah gelar yang hilang selama 10 tahun. Mengingat saat itu Milan masih kesulitan membangun kembali reputasi klub setelah terjun ke serie B karena skandal totonero.

Sacchi pernah menyatakan bahwa kesamaan dari semua tim hebat adalah mampu mengontrol permainan, ketika mendapat bola tim akan mendikte permainan, dan ketika kehilangan bola tim akan mengontrol ruang. Untuk menciptakan orkestrasi itu, ia membutuhkan sosok pemain cerdas dan memiliki fisik yang prima. Hal itu ia temukan pada diri Ruud Gullit. Amunisi Sacchi semakin bagus setelah kedatangan Marco Van Basten dan Frank Rijkard. Kejayaan ‘the dream team’ ini dimulai dengan mengembalikan European Cup yang lepas selama 20 tahun.

Kunci permainan Sacchi adalah permainan rapat, dimana jarak antar pemain belakang dan pemain paling depan cukup dekat. Ini membuat musuh kesulitan menembus pertahanan tiga lapis yang mampu berganti dengan cepat. Sacchi juga menggunakan jebakan offside agresif untuk meredam musuh yang berupaya menembus langsung ke belakang garis pertahanan AC Milan. Ketika menyerang, Sachhi menginginkan 5 orang berada lebih depan dari bola, dan itu bisa siapa saja, sehingga penyerangan lebih cair.

Sacchi datang ke Milan di tahun 1987, menangani Milan yang telah menang playoff untuk bermain di Eropa. Tapi petualangan pertamanya di eropa tidak cukup memukau karena kalah oleh Espanyol di ronde 2 (32 besar) UEFA Cup. Namun di tahun itu juga Sacchi memberikan gelar Serie A, membuat Milan mendapatkan tiket ke European Cup (UCL). Di European Cup ini lah Milan kembali berjaya.

Penampilan Milan di European Cup seperti tidak terhentikan, namun sebenarnya mereka masih diselamatkan oleh keberuntungan. Setelah kemenangan agregat 7-3 atas Levski Sofia, Milan bertemu musuh dengan budaya kuat di Eropa, Red Star Belgrade. Milan sebenarnya sudah kalah 0-1 serta bermain dengan 9 orang akibat kartu merah, namun pertandingan dihentikan setelah ada kabut tebal di menit 57. Besoknya pertandingan diulang, ya, dari skor 0-0. Milan akhirnya menang adu penalti. Di babak berikutnya, Milan menang hanya melalui gol penalti yang kontroversi. Sampai disini mungkin Milan hanya beruntung, namun pada babak berikutnya Milan menujukkan kelasnya.

Dan kasihan Real Madrid, lagi-lagi kehadirannya di Eropa hanya untuk membuktikan kegagahan tim lain. Di 1962, Benfica merebut jubah dominasi Eropa darinya. Di 1974, kekalahannya menandai bangkitnya kehebatan Ajax. Kini, 23 tahun semenjak terakhir Madrid juara, Milan meraih sertifikat kejayaannya dari Madrid dengan stempel 5-0. 5 gol dari 5 orang berbeda. Perlawanan Steau Bucharest di final tidak terlalu sulit, Milan juara dengan skor meyakinkan 4-0.

Permainan rapat 442 menjadi kunci kesuksesan The Dream Team AC Milan. 

Bagi Sacchi kesuksesan ini bukan hanya tentang tropi, namun visinya yang menjadi nyata. Sepakbola memang tentang ekspresi pemain di lapangan, namun lebih dari itu, Sacchi ingin pemain bersemangat dan bebas berekpresi namun tetap dalam koridor yang ditetapkan pelatih. Untuk itu pelatih perlu memikirkan taktik, skenario, informasi, peralatan, dan segala cara untuk kesuksesan tersebut. Sedangkan pemain akan mengembangkan keputusan berdasarkan hal itu. Pemain bukan robot yang kaku, namun juga bukan individualis yang egois. Pemain hanya perlu memahami keinginan pelatih dan bersama-sama berkomitmen untuk kesuksesan. Ibarat film, pelatih akan membuat naskah dan pemain mengikutinya. Meski dengan improvisasi, pemain tidak akan melenceng dari naskah.

Secara taktik, Sacchi fokus pada pergerakan bola. Dan pressing menjadi kunci untuk mengatur itu terutama saat pergerakn tanpa bola. Pressing bukan tentang mengejar bola, pressing adalah mengontrol permainan. Membuat musuh kehilangan kepercayaan diri dan merasa lemah. Itulah mengapa tim harus kuat secara fisik dan psikologis. Sacchi juga sering berlatih menggunakan shadow play, yakni tim bermain tanpa bola dan tanpa musuh. Tim bergerak dan merespon hanya berdasarkan reaksi pemain. Ini melatih koordinasi dan kerjasama antar pemain. Setiap pergerakan pemain harus saling bersinergi, antara sesama pemain, dan antara pemain dengan pelatih melalui kerangka instruksi yang diberikan.

Milan berhasil mempertahan gelar Juara European Cup tahun depannya. Sebuah hal yang jarang pada saat itu. Namun tahun berikutnya jadi semakin berat. Sebenarnya Sacchi masih bisa tahan dari beberapa konflik internal, serta godaan federasi italia yang ingin membawanya memimpin tim nasional. Namun yang paling menjadi alasan adalah kejadian memalukan walk out di perempat final European Cup 1991. Terjadi insiden mati lampu di masa injury time, atas arahan direktur Adriano Galliani, Milan yang saat itu sedang dalam posisi tertinggal enggan melanjutkan ketika lampu berhasil nyala kembali. Marseille diberi kemenangan walkout 3-0. Direktur Adriano Galliani yang dihukum, dan Sacchi menerima tawaran tim nasional.

Prestasi Sacchi sangat bagus, namun sepertinya sudah mencapai puncaknya. Di tim nasional, ia menemui dua masalah besar. Yakni kesulitan memahami pemain yang tidak sehari-hari bersama, serta kesulitan berkompromi dengan pemain terbaik dunia saat itu, Roberto Baggio. Dua masalah itu berdampak pada penampilan Italia di piala dunia 1994, Kesulitan memahami pemain membuat penampilan Italia terseok di fase grup. Italia beruntung lolos ke fase berikutnya setelah hanya menduduki posisi 3 terbaik, itupun di posisi terakhir untuk tim yang lolos.

Nama Sacchi digunjing saat kalah oleh Irlandia di pertandingan pembuka. Di pertandingan kedua, Sacchi menarik keluar Baggio, memantik perselisihan diantara keduanya. Italia gagal menang melawan Mexico, Sacchi semakin terpojok, namun untungnya Italia masih lolos ke babak gugur. Laga melawan Nigeria tidak terlalu memukau karena menang lewat babak tambahan, dan Baggio muncul sebagai pencetak gol penyeimbang di babak normal serta gol kemenangan di babak tambahan. Baggio makin besar kepala, laga berikutnya melawan spanyol ia kembali mencetak gol kemenangan serta memborong dua gol di laga semifinal melawan Bulgaria. Baggio berada di puncak, namanya hampir saja dikenang sebagai pahlawan. Piala di depan mata, laga final melawan Brazil berlanjut adu penalti. Tendangan Baggio meleset, itulah momen ia ‘meninggal’ sebelum menjadi pahlawan, ‘lelaki yang mati berdiri’.

Sacchi mungkin meredup, namun tidak dengan AC Milan. Sacchi telah meletakkan 4-4-2 sebagai landasan kesuksesan Milan. Di bawah asuhan Fabio Capello, Milan berhasil menyempurnakan Scudetto 3 kali beruntun, dan 4 scudetto dari 5 musim. Kesuksesan itu disempurnakan lagi oleh kemenangan telak 4-0 atas Barcelona di final European Cup 1994. Barcelona bukan tim lemah, saat itu mereka telah juara liga 4 kali beruntun dibawah asuhan Johan Cruyff, sang maestro tootalvoetball.

Dejan Saviceviv, pemain andalan AC Milan yang merasakan kepelatihan Sacchi dan Capello, mengatakan bahwa kesuksesan Milan saat itu adalah gabungan antara landasan Sacchi yang berorientasi pada tim, dan sisi pragmatisme Capello. Ini membuktikan bahwa dua sudut pandang ini, keindahan dan pragmatisme, dapat meraih sukses bersama.

Related Posts

Posting Komentar