Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 15

Chapter 15: The English pragmatism (2)

Hanya kekalahan yang bisa membuat Inggris berpikir. Dan semakin Inggris berusaha untuk menang, maka semakin sakit pula kekalahan yang diterimanya. Chapter ini bercerita mengenai kebangkitan sepakbola Inggris yang berhasil mendominasi Eropa di akhir 70an. Liverpool, Nottingham Forest, dan Aston Villa bergantian menjadi raja Eropa. Namun itu semua belum cukup untuk mengalahkan musuh bebuyutan yang selalu menghantui Inggris; pragmatisme.

Ada sebuah ruangan di stadion Anfield yang menjadi sebuah ruang pertemuan informal bagi para pelatih. Ruang itu hanyalah bilik kecil di dalam koridor menuju ruang ganti. Beralaskan karpet lusuh dan gantungan tampat menaruh sepatu dan beberapa pajangan, bilik kecil itu dikenal dengan boot-room (boot=sepatu). Sudut kecil itu menjadi tempat awal revolusi klub Inggris menguasai eropa di akhir tahun 70an.

Bill Shakly (pelatih kepala) dan Joe Fagan (staff pelatih) sering memulai percakapan mengenai pertandingan di bilik itu. Lalu Bob Paisley (staff fisioterapis) ikut bergabung. Diikuti oleh Ronnie Moran (pelatih tim cadangan), Tom Saunder (kepala pengembangan tim muda), dan Reuben Bennet (staff pelatih. 6 orang ini kelak dikenal sebagai pemrakarsa boot-room. Kelak Paisley, Fagan, dan Moran sempat menduduki posisi pelatih kepala di Liverpool. Obrolan di boot-room semakin meluas, membahas tentang sepakbola khususnya di Inggris. Beberapa pihak luar sempat diundang, termasuk pelatih dari tim lawan.

Dan lagi-lagi kekalahan, alasan yang membuat sepakbola Inggris untuk merenung. Setelah kekalahan Liverpool dari Red Star belgrade di European Cup 1973, keenam orang tadi berkumpul dan membahas mengapa Liverpool selalu menjadi tim medioker. Keberhasilan di tahun sebelumnya saat menjuarai UEFA cup mengalahkan Monchengladbach tidak berarti apapa di tahun ini.

Boot-room menilai bahwa era bek stopper sudah berakhir. Kini Klub di Eropa lebih banyak menggunakan bek bertipe ball-playing yang ikut membangun build-up dari belakang. Liverpool pun mengadopsi pendekatan itu. Mereka percaya dengan sedikit perubahan di sisi belakang, maka musuh akan melakukan perubahan pressing yang cukup banyak. Oleh karena itu tim akan oper-operan di belakang sembari menunggu celah di depan, dan sebagaimana paradigma Inggris, umpan langsung dari belakang. Ini akan menciptakan kondisi kucing-kucingan di depan. Sederhana namun efektif.

Shankly mungkin bukan peracik taktik yang bagus, tugas itu lebih sering dijalankan oleh Paisley di lapangan, namun Shankly meletakkan filosofi yang mendasar yakni tentang penguasaan bola, hal yang Shankly cintai karena melihat langsung dari Jimmy Hogan saat masih menjadi pemain. Setiap pemain dituntut untuk menyediakan opsi umpan, sehingga pemain yang memegang bola akan memiliki 3-4 opsi umpan. Dengan bola yang berpindah-pindah maka diharapkan musuh pun akan berubah-ubah bentuk sehingga muncul celah untuk kemudian serangan masuk.

Permainan yang fleksibel, penguasaan bola yang sabar, serta warna sepakbola Inggris yang lebih terorganisir, mangantarkan Liverpool menjadi klub dominan. Dengan raihan 4 gelar juara Eropa dari 1977 hingga 1984. Hal serupa juga dilakukan oleh Nottingham Forest di bawah asuhan Brian Clough saat meraih dua juara Eropa.

Di saat yang sama muncul aliran sepakbola yang bergerak ke arah berlawanan yang lebih mudah dikenali dengan Kick-and-Rush. Gaya ini semakin populer seiring kebangkitan Watford dan Wimbledon, keduanya mampu mencapai final piala FA 1984 dan 1988. Namun hal yang paling merusak adalah pandangan kolot dari pengurus federasi yang mengagungkan gaya ini. Di tengah permainan sepakbola yang semakin terorganisir dan tersistematis, banyak pemain yang kesulitan mengikutinya. Banyak dari pemain ini yang membangkang pada sistem, mereka secara brutal mengotori seni bermain pressing.

Keadaan semakin runyam saat Federasi menunjuk Graham Taylor untuk melatih tim nasional Inggris. Taylor tidak memiliki banyak prestasi di level tinggi, prestasi tertingginya hanya bersama watford. Mengantarkan promosi dari divisi 4 hingga ke divisi utama dalam 4 tahun, meraih posisi 2 di divisi utama dan mencapai Final FA cup setahun kemudian. Pada akhirnya Inggris gagal lolos piala dunia 1994, kesalahan dilimpahkan kepadanya.

Gaya bermain Taylor dikenal dengan ‘route one’ yang mengirim bola secepat mungkin ke wilayah musuh, dengan tempo tinggi dan pressing di hampir semua lini. Ini mirip seperti tim yang berhasrat mencari gol penyelamat di menit-menit akhir. Jadi daripada melakukannya di menit-menit akhir, Taylor berpikir mengapa tidak dimainkan sejak awal. Sangat buas dan liar namun, secara jujur, itu berjalan baik. Sisi postitifnya adalah mereka sering mencetak banyak gol di pertandingan. Taylor menolak dikritik tentang bola jauh, baginya yang terpenting adalah akurasi.

Hal tak kalah menjijikannya ditampilkan oleh Wimbledon. Perjalanannya untuk promosi dari divisi bawah sering dikritik bersamaan kritik pada gaya kick-and-rush yang dibawa Watford beberapa tahun sebelumnya. Wimbledon sering mengincar kejadian kemelut di depan gawang musuh, hal yang mereka anggap berpeluang menghasilkan gol. Keberhasilannya saat menekuk liverpool, Juara eropa tahun lalu, di final FA cup diakui karena Vinnie Jones berhasil mencederai Steve McMahon di menit awal dan membuat Liverpool terintimidasi sepanjang pertandingan.

Permainan kick-n-rush Graham taylor menemukan antitesanya. Saat bertemu Sparta Prague di UEFA Cup 1984, Watford kalah dengan agregat 7-2. Aspek pressing menjadi poin krusial kelemahan kick-n-rush. Tim yang mampu bertahan dari pressing dan memegang bola dengan nyaman akan mampu menumpulkan kekuatan bola-bola panjang kick-n-rush yang agresif.

Graham Taylor memiliki pandangan yang sama dengan Charles Reep, dan juga Charles Hughes, salah seorang direksi di federasi sepakbola Inggris. Ketiganya meski memiliki hubungan yang rumit, juga memiliki koneksi yang saling mempengaruhi dan berkontribusi besar pada doktrin pragmatisme sepakbola Inggris. Terutama Hughes karena posisinya di federasi. Ia menulis buku the winning formula yang menjadi buku panduan latihan dasar sepakbola Inggris menganut sistem direct football.

Meski bersumber pada satu kepercayaan, ketiganya juga punya pandangan berbeda pada beberapa hal. Salah satunya Reep terobsesi pada ‘reacher’ bola yang dikirim sampai ke wilayah musuh, reacher ini lah yang berkontribusi pada kemungkinan gol. Sedangkan Taylor menyanggah pengaruh reacher tersebut, ia mengaku kontribusi gol nya dipengaruhi kemampuan merebut bola di wilayah musuh.

Hughes berpendapat bahwa kehebohan tidak sama dengan kualitas. skor 4-3 yang mendebarkan masih bisa kalah dari 0-0 yang berkualitas. Karena jika gol dianggap kualitas, maka akan ada ribuan orang yang menonton sepakbola level amatir.

Hughes menyebut ia telah meneliti 202 gol dari timnas Inggris selama 1966 hingga 1986. Dari 202 gol itu, 87 persen diantaranya bersumber dari operan kurang-dari-5-kali. Dan 3 persen terjadi saat operan diatas 10 kali. Ia menyimpulkan bahwa semakin sedikit jumlah passing, akan lebih berpotensi terjadi gol. Menyudutkan possession sebagai strategi yang tidak efektif.

Pendukung possession pun memiliki pembelaan dengan menunjukkan bahwa, dalam 13 perhelatan piala dunia, 32 persen dari gol Brazil berasal dari operan-lebih-dari-6-kali, diikuti Jerman dengan 25 persen. Kedua tim itu bahkan memenangkan 6 dari 13 piala dunia tadi. Banyak jurnalis mengganggap penyajian data oleh Hughes bias, atau setidaknya diragukan karena dianggap terlalu ‘dipilih-pilih’. Karena Hughes tidak pernah menjelaskan mengapa sampel itu dijadikan pilihan. Masalahnya bukan apakah Hughes benar atau salah, masalah utamanya adalah bagaimana orang-orang bisa berpegang teguh pada hasil itu pada waktu yang lama.

Beberapa pernyataan Hughes dianggap terlalu subjektif tendensius mendukung direct football. Tanpa memperhatikan aspek yang lebih luas. Hughes menyebutkan bahwa Inggris tidak pernah kalah ketika berhasil melesakkan 10 tembakan ke gawang musuh, sayangnya, memang begitu faktanya. Hughes melanjutkan, maka itu tim harus mengirim bola ke depan gawang musuh sebanyak mungkin agar mampu melesakkan minimal 10 tembakan untuk memastikan kemenangan. Tapi apakah jumlah tembakan ke gawang musuh akan menjamin kemenangan? Atau apakah tim yang menang selalu mencatatkan shot yang banyak?

Pernyataan lainnya dari Hughes, “Pada level tertinggi sekalipun, banyak shoot yang gagal menjadi gol. Oleh karena itu setiap tim harus menembakkan bola setiap ada kesempatan, tidak perlu malu atau takut gagal”. Memang benar jika setiap tembakan akan menghasilkan peluang, namun terlalu berlebihan jika mengaggapnya seperti undian. Karena sama saja tidak mempercayai skill dan teknik individu. Permainan seolah dikuasai rasa takut, melupakan keindahan dan bersandar pada keberuntungan.

Meskipun catenaccio didasari rasa takut, Namun Italia membangun itu dengan kepercayaan pada kemampuan individu, membungkusnya dengan strategi yang baik. Tidak seperti Inggris yang meragukan skillnya dan malah menggunakan jalur kekuatan fisik. Lebih keras, lebih kuat, lebih cepat, lebih baik! -tapi tidak lebih jago.

Taylor sangat menyadari kelemahan dari ideologi yang dibawa Hughes. Terlebih Taylor lebih berpengalaman membawa itu berhadapan dengan musuh nyata di lapangan. Kekalahan dari Sparta Prague menyiratkan seberapa jauh ideologi itu mampu membawa kesuksesan, ya hanya segitu-gitu saja. Direct football mungkin efektif, tapi hanya pada lawan dengan level tertentu. Hughes pun tidak pernah menerapkannya langsung di lapangan. Namun sialnya bagi Taylor, dia yang paling awas akan kerapuhan sistem ini, malah dia sendiri yang paling terkena dampaknya saat sistem ini gagal. Kegagalan Inggris di Euro 1992 setelah kalah dari tim Swedia, dan kegagalan di kualifikasi piala dunia 1994 juga oleh tim skandinavia lainnya, Norwegia.

Norwegia, dan negara Skandinavia umumnya tidak memiliki tradisi kuat di sepakbola. Namun begitu tim Swedia pernah meraih kejayaan saat mendapatkan medali emas di olimpiade 1948, juara ketiga di piala dunia 1950, dan mencapai final di 1958. Perkembangan sepakbola disana berkaitan erat dengan sepakbola di Inggris. Formasi WM dengan man-marking menjadi andalan.

Saat Swedia gagal lolos di piala dunia 1970, seorang staff pelatih tim nasional bernama Lars Arnesson memberikan usulan tentang identitas sepakbola Swedia. Ia ingin sepakbola di seluruh negeri menerapkan libero ala Jerman. Hasilnya cukup baik karena Swedia berhasil menjadi juara lima (merujuk posisi ketiga di grup ronde dua). Meski ide ini belum menyebar menyeluruh, namun setidaknya ini membuktikan bahwa Swedia mampu bersaing di kancah Internasional.

Namun gerakan berlawanan juga muncul. Manajer Malmo FF mencari penyegaran taktik dengan menunjuk pelatih asal Inggris, Bobby Houghton. Kemudian ada juga Roy Hodgson yang melatih Halmstad BK. Houghton dan Hodgson sama-sama pernah ikut kursus yang dilaksanakan oleh Wade Allen, salah satu pelatih di federasi Inggris. Wade memiliki ciri kepelatihan yang lebih mengutamakan formasi dan distribusi pemain, daripada skill individu. Kini di Swedia terbagi anatara mereka yang menjalankan libero Jerman dan mereka yang mengikuti sekolah Inggris.

Gaya Inggris sebenarnya berjaya, Houghton dan Hodgson berbagi 5 gelar juara dari 6 tahun mereka di liga Swedia. Termasuk saat Malmo mencapai final European Cup 1978 dan dikalahkan oleh Nottingham Forest. Namun kegagalan Inggris lolos piala dunia 1978 telah menyebarkan desas-desus buruk di tentang Inggris di Swedia. Dan ketika Swedia pun tampil buruk di piala dunia itu, gaya Inggris dianggap sebagai sumber masalahnya. Akhirnya federasi Swedia pun turun tangan dengan menyatakan bahwa tim nasional tidak akan lagi menggunakan gaya-Inggris. Gaya libero sepertinya akan unggul, namun pengaruh Inggris masih dibawa oleh Sven-Goran Eriksson.

Eriksson mengalami cidera saat berusia 28 tahun, ia ditawari menjadi asisten oleh pelatihnya, Tord Grip. Grip sangat menyukai gaya Inggris, dan ini mempengaruhi selera Eriksson kelak. Kemudian saat Grip mendapat panggilan untuk menjadi tim pelatih di tim nasional, Eriksson pun naik menjadi pelatih kepala. Eriksson berhasil mengantarkan Klub Degerfors yang dilatihnya menuju promosi di tahun 1978. Kemudian IFK Goterborg tertarik untuk memanggil Eriksson. Tidak ada yang menyangka Eriksson, tanpa prestasi berarti di level pemain dan pelatih, mendapat kesempatan untuk melatih salah satu klub besar di negeri ini.

Eriksson langung menerapkan sistem pragmatis Inggris. Formasi 4-4-2 dengan fokus, seperti Wade, pada formasi tim dan posisi tiap pemain. Hasilnya cukup mengecewakan, Goterborg terseok-seok di awal musim, namun akhirnya bisa finish posisi dua dan menjuarai piala domestik. Di tahun keduanya ia kembali finish kedua, mereka yang membenci gaya Inggris terus menyudutkannya. Namun tahun depannya Ia berhasil membungkam kritik dengan mampu meraih treble, memenangkan dua kompetisi domestik, dan juara UEFA Cup setelah mengalahkan Hamburg, yang merupakan tim Jerman. Saat Eriksson dipinang oleh Benfica, fondasi 4-4-2 telah terbentuk di Swedia.

Tugas Eriksson dilanjutkan oleh asistennya, Gunder Bengtson, yang juga memiliki filosofi yang sama dengan pendahulunya. Namun setahun kemudian Bengtson pindah ke Norwegia melatih klub Valarenga. Dan langsung menjuarai liga di 1983, gaya-Inggris disana kini jadi semakin populer. Apalagi Wade dan Hughes juga sering berkunjung melakukan pelatihan disana. Apa yang menjadi perdebatan di Swedia tentang gaya Inggris pun sampai ke Norwegia.

Ogil Olsen, mantan pemain tim nasional Norwegia yang juga seorang dosen, telah membedah ajaran Wade dan memberikan revisi. Olsen berpendapat bahwa Wade terlalu fokus pada menguasai bola, seolah-olah memenangkan dan menguasai bola adalah tujuan utama permainan. Seharusnya, kata Olsen, perlu ada upaya penetrasi (menembus pertahanan lawan) setelah menguasai bola. Olsen kemudian menyimpulkan bahwa posisi bola lebih penting daripada penguasan bola. Olsen semakin akrab dengan gaya-Inggris setelah bertemu beberapa tokoh seperti Reep dan Howard Wilkinson, seorang analis data yang juga melatih Leeds United dan juga perancang proyek ‘English La Masia’ pada tim muda Inggris.

Olsen ditunjuk menjadi pelatih tim nasional Norwegia pada 1990, membuat Norwegia diperhitungkan di kancah internasional dengan berhasil lolos ke piala dunia 1994 dan 1998. Bahkan sempat mencapai posisi 2 di ranking FIFA. Olsen menerapkan formasi 451 dengan mengandalkan target-man sebagai ujung tombak. Sebagaimana gaya-Inggris mendukung umpan langsung, maka Olsen menempatkan seorang pemain khusus menerima umpan-umpan itu, yang kita kenal dengan Targetman. Dengan Olsen yang berpegang pada penetrasi serta penempatan posisi, maka Josein Flo yang seorang targetman handal diletakkan di posisi sayap kanan (wide targetman).

direct football at its finest

Corak taktik bergaya-Inggris yang di bawa Olsen telah memberikan keberhasilan, setidaknya bagi sepakbola Norwegia. Namun di Swedia, anak murid Eriksson di Goterborg dan juga penerus Bengtson di Valarenga, Olle Nordin mencoba menerapkan gaya-Inggris saat memimpin Swedia di piala dunia 1990. Hasilnya Swedia menelan 3 kali kalah dengan skor 1-2, 1-2, dan 1-2. Skor yang mirip derap langkah tentara.

Pada pertandingan kualifikasi piala dunia 1994 antara Inggris melawan Norwegia. Saat itu Inggris mendominasi dan unggul 1-0, hingga akhirnya Kjetil Rekdal yang seorang gelandang bertahan melesatkan tambakan dari jarak 30 yar dan berhasil bersarang di gawang Inggris. Apakah tendangan Rekdal ini dilakukan secara rutin di latihan? ataukan didasari naluri ? Ataukah hanya upaya membeli karcis lotre tambahan untuk menambah kesempatan jackpot? Atau hanya kejadian random semata? Apapun hasilnya Inggris lagi-lagi tidak bisa menghindari kekalahan.

Related Posts

Posting Komentar