Chapter 14: Fly Me to the Moon
Televisi berwarna telah membantu sepakbola menjadi olahraga paling populer di seluruh penjuru dunia. Warna-warni seragam Brazil dan keindahan permainannya telah menyentuh hati semua orang. Keindahan sepakbola kini telah mencapai puncaknya hingga sampai bulan. Chapter ini bercerita mengenai kesuksesan Brazil 1970 yang dianggap sebagai puncak sepakbola. Orang-orang kini mengkhawatirkan titik baliknya, dimanakah letak keindahan itu selanjutnya? pada taktiknya? Atau timnya? Atau pemainnya? Atau haruskah orang-orang ikut terbang ke bulan?
Mexico 1970, gelar ketiga juara dunia menjadi momentum Brazil mendominasi sepakbola. Itu terjadi setahun setelah euforia Amerika Serikat berhasil mendaratkan manusia pertama di bulan. Pendaratan Neil Amstrong dianggap sebagai prestasi superior di bidang teknologi dan keberhasilan Brazil dianggap prestasi setara di bidang olahraga. Keduanya disambut meriah oleh seluruh dunia, dan aspek yang paling berjasa besar dalam menyebarkan berita tersebut; televisi.
Brazil dengan seragam kuning menyala dan biru terang menjadi ikon bagi televisi berwarna yang mulai marak. Semangat sepakbola yang menggelora dan penampilan akrobatik indah di lapangan menjadikannya tontonan yang spektakuler. Brazil melestarikan tradisi futebal arte (sepakbola seni). Pertemuannya dengan Italia di final 1970 menjadi sebuah pertarungan filosofis, melawan futebal resultados. Italia saat itu dikenal dengan sepakbola yang berorientasi pada hasil dan cenderung negatif. Catenaccio menjadi taktik fenomenal satu dekade ke belakang. Kemenangan Brazil atas Italia menjadi sebuah momentum bersejarah. Selain menjunjung futebol arte, gelar ketiga Brazil ini mengukuhkannya sebagai kiblat sepakbola.
Prestasi Brazil tidak terlepas dari faktor internal dalan negeri. Sebagaimana presiden Kennedy mulai menyadari dengan serius perlombaan penjelajahan antariksa di 1962, di saat yang sama Brazil mengincar gelar ketiga setelah meraih gelar keduanya di Chile. Segenap negeri lantas mencurahkan energinya untuk cita-citanya itu. Faktor ekonomi memberi dampak besar, pertumbuhan ekonomi setelah dunia damai memberikan keuntungan bagi Amerika -sebagai sumber dana penjelajahan antariksa-. Dan permintaan akan bahan mentah dari Brazil mengalami peningkatan. Meningkatnya produksi pabrik dan kebutuhan akan tenaga kerja memicu migrasi penduduk ke kota besar Brazil. Dan secara terpisah, sepakbola menjadi hiburan yang murah meriah bagi imigran ini.
Generasi emas Brazil yang menjuarai 1958 dan 1962 sudah mulai tua. Penampilannya menurun di piala dunia 1966 dengan terhenti di fase grup. Ditambah pengaruh antifutbol, permainan sepakbola kasar, yang mulai merambah Brazil. Kondisi itu membuat kondisi tim nasional tidak baik-baik saja. Saat Jendral Medici berkuasa di 1969, ia menyatakan dukungan pada sepakbola. Meski hanya bertujuan sebagai alat propaganda saja, tapi ini membuat sepakbola disana semakin subur.
Pelatih timnas saat itu, Joao Saldanha memperoleh hasil memukai di babak kualifikasi piala dunia. Ia pergi ke Eropa untuk memantau calon-calon musuhnya. Ia mendapati bahwa tim eropa sangat patut diwaspadai. Tim eropa, menurut Saldanha, memiliki fisik yang lebih bagus dan teknikal yang menyamain level negara amerika latin. Namun hal yang paling diwaspadai adalah mereka yang dipersiapkan seperti pegulat, dan kekuatan wasit yang berpotensi menghancurkan pertandingan. Brazil harus berbenah.
Saldanha berhenti dari kursi pelatih setelah berseteru dengan Jendral medici. Ia tidak memanggil Dario saat pertandingan persahabatan, padahal Dario merupakan pemain favorit sang presiden. Wartawan menanyakan alasannya. Saldanha lalu menjawab, “saya juga punya beberapa nama rekomendasi untuk menduduki posisi menteri”. Saldahna memang dikenal secara diam-diam mendukung lawan politik Medici. Atas komentarnya itu ia dikenal sebagai Joao ‘the fearless’. Saldanha dicopot dan kembali melanjutkan karir di bidang jurnalisme.
Posisi pelatih timnas kemudian diberikan kepada Mario Zagallo. Ia adalah anak murid Saldanha di Botafogo. Zagallo adalah pemain sayap kiri Brazil saat juara di 1958 dan 1962. Zagallo, seperti Pozzo dan Sebes, berpendapat bahwa tim yang bermain bersama-sama sejak lama akan menumbuhkan saling pengertian. Zagallo mengambil skuad kebanyakan dari Santos dan Botafogo. Kemudian ia membawa Rivellino dari Chorinthians dan Tostao dari Cruzeiro. Publik mengkritik karena mereka dianggap setipe dengan pemain yang sudah ada. Namun Zagallo berkeyakinan bahwa mereka adalah pemain dengan inteligensi tinggi yang mampu memberikan perbedaan pada tim.
Brazil bermain dengan pakem 442, dan tentu saja, dengan beberapa modifikasi. Tostao dan Pele sama-sama bertipe penyerang ujung tombak yang menekankan eksekusi akhir. Duet keduanya berjalan cair dengan salah satunya sering turun untuk menarik bek lawan, jarang ada musuh yang berani untuk mengejar permainan mereka yang atraktif. Di sisi kanan ada pemain yang siap mebawa ‘badai’, Jairzinho. Gelandang tengah diisi oleh duet Gerson dan Clodoaldo. Gerson berperan sebagai registra, playmaker dengan mobiltias tinggi. Sedangkan Clodoaldo memiliki tugas khusus melindungi Gerson.
Bek kanan Carlos Alberto adalah tipikal menyerang yang sering mencover Jairzinho, sedangkan bek kiri Everaldo lebih bermental bertahan. Untuk mengimbangi bek kiri, Rivellino yang aslinya seorang penyerang ditempatkan di sayap kiri. Rivellino ditugaskan untuk lebih banyak menunggu posisi, sebagai cover untuk bertahan serta dan sebagai serangan tak terduga.
Brazil memainkan 442 di atas kertas, namun di lapangan berubah menjadi 451 karena striker yang mundur ke tengah. Namun bisa juga menjadi 433 karena pemain sayap yang naik, atau 424 saat striker masih di depan. Sebenarnya formasi 4231 lebih cocok untuk mendeskripsikannya, namun pemahaman formasi 4 baris seperti itu belum lumrah.
Tim ini mendapat julukan ‘tim paling sempurna’. Keindahan yang ditampilkan tidak henti-hentinya tersaji meskipun tim sudah unggul dan sepertinya hasil sudah bisa ditebak. Kala itu Brazil menunjukkan seni sepakbola yang sesungguhnya. Pele menjadi pemain satu-satunya (hingga kini, 2024) yang meraih 3 juara piala dunia. Zagallo menjadi orang pertama yang memenangkan piala dunia sebagai pemain dan pelatih. Perayaan Brazil menjuarai piala dunia 1970 telah membawa sepakbola ke bulan, menjadi olahraga paling disukai di seluruh planet bumi.
Brazil 1970 dianggap sebagai puncak prestasi yang tidak akan pernah terjadi lagi. Pertandingan final 1970 dianggap sebagai pertandingan terakhir dari keindahan sepakbola. Ini karena revolusi sepakbola modern telah terbentuk di tiap sudut dunia, dimana pressing atau segala tindakan untuk membatasi ruang gerak pemain diterapkan. Di 1970, Brazil bermain dengan banyak ruang tersedia, dimana hal itu sudah sangat jarang di dekade ke depan.
Skuad Brazil 1974 sangat berbeda dengan 1970. Pele pensiun, dan pemain inti seperti Tostao, Gerson, Clodoaldo cidera. Brazil tampil cukup baik namun langkahnya ke final digagalkan oleh tim tootalvoetball yang sedang onfire. Tahun 1978, Brazil dibawah Claudio Coutinho ingin menciptakan permainan mirip totalfootbal namun gagal. Meski begitu performa Brazil di piala dunia terbilang konsisten dengan selalu lolos fase grup.
Brazil terus berpegang teguh pada filosofi menyerang yang kreatif. Hingga pada 1982, saat Brazil bertemu Italia di ronde kedua. Italia kala itu sudah meniggalkan catenaccio dan beralih ke il gioco all’italia (the italian gameplay), sebuah filosofi yang lebih intuitif dengan mengandalkan umpan panjang dari registra, tapi tetap sama cenderung bertahan. Brazil harus menang untuk bisa lolos, dan Italia cukup mengincar seri tanpa gol. Daya tahan Italia dan kreatifitas Brazil duji pada waktu yang sama.
Brazil diberkahi banyak gelandang kreatif yang mampu menggiring bola, namun sedikit sekali bakat yang bisa berlari cepat untuk posisi sayap. Maka itu Tele Santana, pelatih Brazil, menerapkan formasi 4-2-2-2. Meletakkan gelandang di ¾ lapangan, inilah asal mula istilah trequartista (tiga perempat). Sehingga ada 4 gelandang di tengah dan dua bek sayap yang siap maju. Kondisi ini, bagi standar eropa, disebut kekurangan lebar. Namun sebenarnya dua gelandang ini bisa menjelajah sisi lebar lapangan. Sebuah konsep sulit ditiru jika tidak memiliki budaya kreatif seperti di Brazil.
Italia dengan gaya barunya juga memiliki pemain trequartista, namun lebih mirip sebagai second striker. Dimana trequartista Brazil lebih fokus pada peran playmaking, atau orang Argentina menyebutnya enganche. Libero kini lebih lengkap dari sekedar penyapu bola, peran itu kini bisa maju menjadi gelandang tambahan saat menguasai bola.
![]() |
Peran trequartista yang berbeda pada Italia dan Brazil |
Pertandingan ini dianggap salah satu pertandingan terbaik piala dunia itu. Italia berhasil mendapat gol cepat di menit ke-5. Suasana menegang, Brazil berhasil menyamakan kedudukan 6 menit kemudian. Adrenalin penonton semakin meningkat saat italia berhasil mencetak gol di menit 24. Brazil mengerahkan semua upayanya untuk mencari gol penyeimbang, sedangkan Italia terus bertahan dengan gagahnya. Pertandingan berjalan seru dengan kejar-kejaran gol. Brazil kemudian mampu mendapatkan gol. Dengan skor 2-2, Brazil bisa lolos dengan keunggulan jumlah gol. Akhirnya gantian Italia yang keluar menyerang, pertandingan semakin menggila. Italia berhasil mencetak gol lagi di menit 74. Dan pertandingan tetap menggelora hingga peluit akhir dibunyikan.
Itu adalah sebuah titik balik dari filosofi sepakbola Brazil, kekalahan ini mengubah pola pikir mereka. Brazil kemudian secara perlahan berevolusi mengorganisir pertahanan, serta mengandalkan serangan balik. Mirip cara bermain italia saat mengalahkan mereka di 1982.
Ironisnya, pertandingan 1982 itu juga menjadi alasan Italia meninggalkan gaya bermainnya. Secara membosankan, hampir semua tim menjalankan formasi ini. Sehingga posisi tiap pemain mudah terbaca dan hampir di setiap pertandingan terjadi. Formasi ini dipercaya sudah usang, dan itu terbukti setahun setelahnya di Final European Cup 1983, saat Juventus dikalahkan oleh Hamburg. Ernst Happel telah membaca formasi ini, ia menyuruh striker kanannya Bastrup untuk menempel wingback kiri Juventus Cabrini. Sehingga Cabrini menjadi tumpul. Untuk itu Trapattoni menggerakkan bek kanannya untuk mengejar si penyerang kanan Bastrup, ini menyebabkan kekosongan di sisi kanan. Wingback kanan Juventus Tardelli pun turun menutup lubang itu. Namun Tardelli yang aslinya seorang penyerang tidak mampu maksimal menjalankan tugas. Felix Magath akhirnya lepas dari kawalan dan mampu mencetak gol tunggal di laga itu.
Setelah perubahan filosofis pada permainan Brazil, keindahan sepakbola mulai pudar. Kini hanya tersisa playmaker atau fantasista sebagai pemain kreatif yang menampilkan fantasi keindahan sepakbola. Peran playmaker menjadi semakin krusial. Bagaimana ia menciptakan kreasi dalam mengolah bola, dan caranya masuk ke dalam sistem membuat perannya semakin bervariasi. Akankah keindahan sepakbola tetap bertahan?
Michel Hidalgo, pelatih Perancis, menempatkan Michel Platini sejajar striker, di posisi second striker, bahkan terkadang lebih dalam seperti registra. Platini merupakan playmaker kreatif di masanya, ia bisa bermain dari mana saja. Platini adalah salahsatu dari le carre magique (segiempat ajaib) bersama Jean Tigana, Luis Fernandez, dan Alain Giresse. Meski keempat pemain ini merupakan pemain bintang di klubnya, Hidalgo mampu memasukkan mereka ke dalam sistem dan berhasil meraih juara Euro 1984.
Carlos Bilardo, pelatih Argentina di piala 1986, pernah berkata bahwa 3 pemain harus menyerang dan sisanya bertahan. Mungkin beda cerita jika tidak ada Maradona di tim nya. Bilardo memiliki pendekatan yang pragmatis, tidak mengherankan karena ia merupakan murid Zubeldia di Estudiantes. Pragmatismenya ini membuatnya dikenal sangat teguh pada sistem, setiap pemainnya diaksa untuk masuk ke dalam taktik yang ia miliki. Uniknya kala itu ia memiliki Maradona, pemain terhebat di dunia. Pendekatan Bilardo pada Maradona akhirnya mengantarkan pada salah satu perubahan formasi hebat; 3-5-2.
Tren perubahan taktik mengarah pada penambahan jumlah bek. Dari formasi 2 bek pada formasi piramida suci, lalu ditambahkan bek ketiga pada formasi WM, dan bek keempat mulai populer dengan segala alasannya apalagi pasca kemenangan Brazil 1958. Bilardo mengklaim bahwa ia mencabutnya lagi, menjadi 3 bek. Ditambah dengan pemikiran, “jika orang-orang sudah biasa bermain tanpa sayap, mengapa harus repot-repot dengan fullback (bek sayap)”. Fullback kala itu memang banyak yang bermain lebih menyerang atau berlari ke depan, maka Bilardo mencoba mendorongnya lebih kedepan. Dengan meletakkan dua pemain gelandang di sisi lebar, Bilardo menciptakan formasi 3-5-2.
Formasi ini sebenarnya telah banyak diterapkan, namun pengakuan lima pemain di tengah lapangan dimulai oleh Bilardo. Seringnya pemain lebar dianggap pemain sayap, dan ketika turun dianggap tornanti (sayap yang turun) seperti pada sistem catenaccio. Uniknya ketika beberapa pemain sayap ini bermental atau bertugas lebih bertahan, maka terciptalah formasi 5-3-2, formasi piramida kini menjadi terbalik.
Bilardo pertama menjadi pelatih di 1970, menggantikan Zubeldia di Estudiantes. Ia memimpin Estudiantes saat kalah di final Copa Libertadores 1971. Tahun 1976, ia pindah ke deportivo Cali dan membawanya ke final copa libertadores dua tahun kemudian, yang juga berakhir kekalahan. Ia sempat menjadi staff pelatih timnas Kolombia sebelum kembali ke Estudiantes. Bilardo berhasil mengantarkan Estudiantes juara Metroplitano 1982, dan juara Nacional 1983. Kesuksesannya ini membuatnya ditunjuk sebagai pelatih timnas menggantikan Menotti pasca 1982.
Formula 3-5-2 sempat diragukan, Argentina gagal di Copa America 1983 dan sempat kalah dari China. Orang-orang menyalahkan formasi 3 beknya. Namun Bilardo tetap yakin pada apa yang ia kerjakan. Bilardo mampu membungkan publik setelah berhasil melibas atas Swiss, Belgia , dan Jerman. Ketika sistem Bilardo dirasa mulai menunjukkan hasil, ia mempersiapkannya untuk piala dunia.
Di fase grup piala dunia, Bilardo masih menggunakan 442 melawan Korea karena mempersiapkan pemain inti untuk melawan Italia. Argentina berhasil lolos setelah menang atas Bulgaria. Setelah menang atas Uruguay, Inggris menanti di perempatfinal. Ini adalah pertandingan krusial bagi kedua tim. Selain penuh dengan aroma balas dendam, formula 3-5-2 mengalami ujian sesungguhnya.
Bilardo menerapkan 352 dengan pemain kunci. Dengan salahsatu perubahan ada di bagian gelandang tengah. Pasculli yang mencetak gol kemenangan di pertandingan sebelumnya diistirahatkan, Bilardo tidak ingin menggunakan gelandang menyerang. Bilardo tidak ingin menggunakan pivot di tengah karena pasti akan dilahap oleh bek Inggris, serta ingin memberikan playmaker terbaik di dunia, Maradona, ruang untuk lebih leluasa. Maradona akan lebih banyak bergerak sebagai second striker.
Keputusan itu terbukti tepat, gol pertama Maradona terjadi dengan skema yang diharapkan. Maradona mendapatkan bola dan dengan ruang di depannya, ia menampilkan skill dewa yang ia miliki. Itu menjadi gol terbaik sepanjang sejarah piala dunia. 5 menit berselang, gol terbaik piala dunia kembali tercipta, ‘gol tangan tuhan’. Bobby Robson, pelatih Inggris tidak tinggal diam, ia memasukkan dua winger. Dua winger Inggris ini sedikit menyingkap kelemahan formula 3-5-2, Inggris berhasil mengirimkan umpan silang yang bertubi-tubi dari sisi lapangan dan berhasil dijadikan gol oleh Gary Lineker. Inggris hampir menambah gol sebelum akhirnya pertandingan usai.
Bisa jadi kelemahan Argentina adalah serangan dari sayap, namun untungnya Argentina tidak lagi menemui lawan dengan sayap yang ganas. Di semifinal melawan Belgia, pertarungan terjadi lebih banyak di lapangan tengah karena belgia tidak memiliki pemain lebar yang cukup bagus untuk menyulitkan Argentina. Jerman, lawan di final, juga sedang mengalami transisi ke bek sayap. Jerman juga secara tidak langsung sedang menuju arah formasi 3-5-2, namun meski hasilnya tampak serupa tetap saja proses evolusinya berbeda.
Setelah kekalahan di final 1966, Jerman berusaha meresapi pola libero yang dimainkan oleh belanda dan Ajax. Franz Beckenbauer disiapkan untuk menjalani peran libero pada formasi 1-3-3-3 di akhir dekade 70an. Pelatihnya, Zlatko Cajkovski, tumbuh di lingkungan yang sangat memahami keutamaan bek tengan yang ikut mengalirkan bola (ball-playing defender). Tidak heran jika Velibor Vasovic, bek Ajax di masa tootalvoetball, berasal dari budaya yang serupa. Backenbauer awalnya adalah seorang gelandang sebelum menggantikan posisi Willi Schulz sebagai Libero di timnas, oleh karena itu Beckenbauer mampu membawa bola ke depan dengan lebih nyaman.
Formasi 1-3-3-3 menjadi pakem timnas Jerman. Dengan sedikit modifikasi menurunkan salah satu penyerangnya, dan saat libero maju membantu lini tengah maka akan tampak seperti 3-5-2. Formasi inilah yang dibawa oleh Beckenbauer saat menjadi pelatih Jerman di 1986. Pada laga semifinal melawan Perancis, formasi 352 terlihat lebih jelas karena salah satu bek didorong lebih maju untuk menempel Platini.
Di final 1986, Matthaus mendapat tugas menempel Maradona. Namun setelah Jerman kalah 0-2 dan sepertinya skor sulit berubah, Mathaus lepas dari tugasnya. Mengetahui celah kelemahan formasi Argentina adalah sisi sayap, Mathaus secara gencar mengirim umpan silang ke depan. Jerman Akhirnya mampu menyamakan kedudukan di menit 81, 9 menit sebelum pertandingan berakhir. Jerman bisa saja menurunkan tempo dan menjaga skor untuk memperhatikan langkah berikutnya, namun itu tidak terjadi, Jerman terus menekan. Dan satu momentum tiba, dengan ruang kosong di belakang garis pertahanan Jerman, Maradona mengirim bola kesana dan kemudian dilampiaskan oleh Burruchaga menjadi gol kemenangan.
Pada Piala dunia 1990, sudah banyak tim yang menerapkan formasi 3 bek. Terutama Jerman yang sudah lihai dengan sistem ini. Kemudian Brazil mencobanya dengan menarik salah satu gelandang bertahannya untuk mundur dari 4222, dan memberikan fullbacknya keleluasaan untuk lebih menyerang. Dan yang mengejutkan adalah Inggris ikut menggunakan libero. Lebih terkejut lagi, Inggris mampu mendulang hasil baik dengan mampu ke semifinal lagi sejak 1966. Inggris mampu menyamai Jerman sebelum akhirnya kalah di adu penalti.
Dengan banyaknya tim menggunakan libero, piala dunia edisi ini dibilang kurang menarik karena jumlah gol yang berkurang dan jumlah kartu merah meningkat. Jerman, sang juara, bahkan hanya mencetak 3 gol di 3 pertandingan terakhirnya, termasuk dua diantaranya berasal dari penalti. Tapi sisi baiknya kita bisa melihat sistem yang semakin terorganisir, pertahanan yang semakin ketat, idealisme menyerang mulai pudar, posisi ideal playmaker mundur dari belakang striker ke posisi setara gelandang, permainan kini bisa dianalisis dan dipelajari.
Di awal 90an pertanyaan besar muncul, apakah jiwa keindahan bisa bersemayam lagi pada tubuh sepakbola?
Posting Komentar
Posting Komentar