Chapter 13: Science and Sincerity
Romansa dua kutub ideologi sepakbola selalu bergelora, diantara mereka yang menggunakan otak dan mereka menggunakan hati. Pendekatan taktik dan pendekatan psikologi memberi mereka kekuatan. Namun bukan berarti keduanya tidak bisa bersatu dan mencapai kesuksesan bersama-sama. Chapter ini menitikberatkan pada perjalanan Lobanovksiy, legenda sepakbola yang terlupakan, dan pendekatan ilmiah-nya di sisi lapangan yang berdampak konsisten. Kemampuannya mencapai prestasi di tiga dekade berbeda telah membuktikan bahwa warisannya sangat fundamental. Namun sekali lagi, tiap pemain yang masuk ke lapangan akan dipenuhi instruksi taktik di kepalanya, serta ketulusan di dalam hatinya.
Lobanovskiy pernah berkata, “Sebuah mimpi yang telah tercapai, tidaklah lagi menjadi sebuah mimpi”. Lobanovskiy adalah pemuda berusia 22 tahun saat ia mengantarkan klub Dynamo Kiyv menjuarai liga sepakbola Soviet di 1961. Sebuah kemenangan legendaris dimana pertama kalinya wilayah Ukraina itu mampu mengungguli seluruh Soviet. Setelah perayaan besar di seluruh kota, Lobanovskiy mendatangi temannya yang seorang ilmuwan. Mereka berbincang-bincang hingga sebuah pertanyaan muncul, “lalu apa mimpimu selanjutnya? Apakah sudah selesai?”. Temannya menjawab, “sebagai seorang ilmuwan sejati pasti ingin memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, ingin memberikan jejak yang nyata”.
Lobanovskiy merupakan seorang yang rasional, berkemampuan analitis tinggi, dan perfeksionis. Sifat ini yang membedakan dengan gurunya, Maslov. Dimana maslov lebih intuitif dan kolot. Lobanovskiy sempat meraih medali emas matematika semasa sekolah. Ia hidup pada masa Soviet sedang fokus mengembangkan ilmu pengetahuan dan berhasil mengirim Sputnik ke bulan. Pertanyaan filosofis seperti di atas memicu ambisi intelektualnya.
Lobanoskiy hampir saja kecewa pada sepakbola, ia didepak dari Dynamo karena sering berseteru dengan pelatihnya, Viktor Maslov. Dan di tahun 1968, tim Shaktar yang ia bela kalah oleh Dynamo Kiyv, mantan klubnya yang menuju gelar ketiga beruntunnya. Ia tambah frustasi karena di klubnya cenderung bermain negative football, bemain tanpa taktik jelas dan hanya menunggu kesalahan musuh. Ia memikirkan untuk banting setir, namun tawaran untuk melatih klub divisi dua Dnipro pada 1969 menuntunnya pada takdirnya.
Lobanovskiy memaafkan segala rasa bersalahnya saat menjadi pemain. Kini ia berambisi meninggalkan peninggalan yang baik pada perkembangan sepakbola. Jika Maslov melatih dengan intuisi, maka Lobanovskiy menginginkan cara yang logis dan ilmiah, setidaknya itulah yang ingin ia capai.
Lobanovskiy berhasil mengantarkan Dnipro promosi di musim ketiganya, dan musim selanjutnya mampu mencapai posisi ke-enam. Suatu saat Lobanovskiy kesulitan menjalankan taktik pressing dikarenakan kondisi fisik timnya yang kurang memadai. Lobanovskiy lalu bertemu seorang ilmuwan Ukraina, Anatoly Zelentsov. Mereka secara bersama memperbaiki beban fisik pemain demi mengoptimalkan performanya.
obanovskiy dan Zelenstov tidak terpisahkan. Zelenstov adalah orang dibalik semua teori, dimana Lobanovskiy adalah eksekutor dari semua teori itu. Zelentsov kelak mendirikan sebuah lembaga riset khusus sepakbola. Sebuah gebrakan yang mengawali masa keemasan sepakbola eropa timur.
Lobanovskiy menerima tawaran melatih Dynamo pada 1973. Kemudian memanggil Bazylevich, rekan setim-nya dulu di Dynamo, sebagai asistennya. Bazylevich yang pernah melatih Shaktar bertugas menjalankan pelatihan aktual. Sementara Zelentskov bertugas memperhatikan persiapan fisik pemain. Kemudian ada Mykhaylo Oshemkov yang fokus pada ‘mengoleksi informasi’ untuk mengakurasi pendekatan tim ini.
Lobanovskiy dan Zelentsov, pada bukunya The Methodological Basis of the Development of Training Models, menyatakan bahwa musuh tidak boleh hapal dengan gaya bermain kita. Jangan memberi kesempatan bagi musuh untuk menganalisa dan meracik taktik spesifik untuk membalikkan formula kita. Salah satu penerapan konkrit dari ide ini adalah dengan mengatur zona-zona di lapangan. Tiap pertandingan yang berbeda akan menghadirkan pemanfaatan zona yang berbeda. Perlunya mengatur zona mana yang akan dikontrol untuk mencapai pendekatan taktik pada lawan yang spesifik. Dan begitulah pressing akhirnya menjadi porsi rutin di setiap latihan.
Lobanovskiy sering membuat instruksi mendetail pada setiap pemain serta instruksi tim secara keseluruhan. Termasuk detail tentang pendekatan pada tiap pemain musuh. Apa yang perlu dilakukan saat menyerang dan saat bertahan, posisi yang diambil saat bertahan, termasuk arah distribusi bola saat memiliki possession. Zona-zona operasi tiap bermain pun ditentukan.
Lobanovskiy menjunjung ide ‘universalitas’, yakni tiap pemain harus memiliki kemampuan menyerang dan bertahan sehingga bisa saling meng-cover satu sama lain. Baginya, menyerang dan bertahan tidak terpaku pada posisi pemain, tapi pada penguasaaan bola. Saat mendapat possession semua pemain harus menyerang, begitu juga sebaliknya, tanpa mengurangi tanggung jawab mereka pada instruksi tim.
Lobanovskiy sangat presisi dalam mengeksekusi idenya. Ibarat permainan catur yang mempertimbangkan set langkah yang akan diambil, bersamaan saat musuh juga mempertimbangkan langkahnya. Perbedaannya dengan Charles Reep, pionir stastitik sepakbola, adalah Lobanovskiy mengaplikasikannya langsung pada gaya bermainnya di lapangan. Membawanya pada level yang lebih tinggi.
Lobanovskiy meraih banyak kesuksesan bersama Dynamo. 13 juara liga, 9 piala domestik, 2 piala winners cup (UEL). Ia juga beberapa kali menembus perempat-final dan semifinal di kompetisi level eropa, membawa klub Dynamo ke level atas. Bisa dibilang, ia telah mendefinisikan sepakbola Ukraina. Hal keren lainnya adalah ia berhasil membawa kesuksesan di setiap masa, membangun 3 tim hebat dalam 3 dekade berbeda. Setelah menjuarai Winner’s Cup tahun 1975, Ia menjuarai-nya lagi di tahun 1986. Dan di dekade berikutnya mampu mengantarkan Andriy Shevchenko cs ke semifinal Champion League 1999.
![]() |
Dynamo Kyiv memiliki 3 generasi emas dalam 3 dekade berbeda. |
Lobanovskiy mengantarkan Dynamo Kyiv menjadi salah satu pesaing papan atas liga Soviet. Dan di saat bersamaan muncul pesaing lain dari sisi barat negeri, Dinamo Minks. Minks menjuarai liga Soviet pada 1982. Sang pelatih, Eduard Malofeev mengatakan bahwa keberhasilannya bukan karena utak-atik taktik, namun murni karena ketulusan. Minks saat itu diperkuat oleh gelandang flamboyan, Aleksandr Prokopenko. Ia adalah bintang Minks dengan skillnya yang sangat bagus, namun kecintaannya pada alkohol mengganggu karirnya. Minks dan Kiyv, Belarusia dan Ukraina, sama-sama memberikan persaingan di liga Soviet. Dan secara perlahan kedua tim itu menjadi dua kutub ideologis di Soviet.
Lobanovskiy memiliki pendekatan matematis sedangkan Malofeev bermain lebih romantis. Lobanovskiy akan menjabarkan detail instruksi untuk memaksimalkan potensi seorang pemain, dan Malofeev melakukannya dengan pendekatan psikologis. Ilmu pengetahuan dan ketulusan, kedua aspek ini kelak berkolaborasi pada tim nasional.
Lobanovskiy melatih timnas saat Soviet mendapatkan medali perunggu di Olimpiade 1976. Pada 1984, periode keduanya di timnas, ia digantikan oleh Malofeev yang baru saja sukses bersama Minks. Rekor Malofeev terbilang buruk setelah hanya menang sekali dari 5 pertandingan di ronde kualifikasi piala dunia, namun mereka beruntung bisa tetap lolos ke Mexico 1986. Publik was-was dan setelah beberapa hal, Lobanovskiy ditunjuk kembali untuk putaran final. Tim nasional kini bersinergis, Malofeev memberi peningkatan pada aspek psikologis dan Lobanovskiy menyempurnakannya pada aspek taktis. Di Mexico, Soviet tampil meyakinkan dengan menjadi juara di fase grup, namun sayangnya kalah dramatis di babak gugur oleh belgia.
Lobanovskiy mencapai titik tertingginya bersama tim nasional di Euro 1988, kala itu ia mampu mencapai partai puncak bertemu Belanda. Sayangnya gol dari Gullit dan Van Basten menghentikan mimpi Soviet. Soviet kemudian tampil buruk Di piala dunia 1990, Lobanovskiy dipecat dan pergi berpetualang ke timur tengah. Lalu kembali ke Kiyv pada 1997.
Lobanovskiy dikenal sering mengincar hasil seri tiap laga tandang, membawa pertandingan ke arah negatif. Prestasinya di Euro 1988 dan piala Dunia 1990 tak luput dari itu. Pada saat itu hasil seri diberi 1 poin, dan kemenangan diberi 2 poin. Di tempat lain, muncul kekecewaan publik pada penampilan Denmark yang sering melakukan backpass di Euro 1992. Akhirnya pada piala dunia 1994, pertama kali diberlakukan 3 poin bagi kemenangan serta peraturan backpass baru.
Lobanovskiy telah memberikan warisannya, terutama pada pendekatan ilmiah dan pressing. Kini semua tim sudah melakukan pressing.
Posting Komentar
Posting Komentar