Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 12

Chapter 12: Total Football

Totaalvoetbal merupakan salah satu taktik sepakbola dengan gaya menyerang yang kreatif, ia hadir sebagai antitesa dari gaya yang terkenal di awal dekade 60an kala itu, Catenaccio. Chapter ini bercerita mengenai filosofi terkenal total football. Awal perkembangannya yang dipengaruhi oleh suasana politik dan budaya di dekade 60an, serta konsep-konsep yang mendukungnya. Total football berhasil menghempaskan Catenaccio, namun cerita dibalik ruang ganti Ajax menarik juga untuk disimak.

Akibat perang, semua kemajuan manusia terhambat. Namun dampak buruk perang itu telah berakhir, kini semua bidang mulai stabil termasuk kesehatan dan ilmu olahraga. Standar fisik atlet mulai meningkat. Termasuk aspek kebersihan, pola makan, termasuk psikologis yang memiliki perhatian khusus. Dengan perkembangan fisik dan teknik pemain seperti sekarang, mereka mampu menjalankan berbagai teori dari taktik apapun.

Belanda secara sepakbola sempat tertinggal. Di dekade 1950an negara-negara dunia sudah tidak lagi terpaku pada gaya inggris, namun di belanda masih menganut formasi piramida 2-3-5. Dari 1949 hingga 1955 belanda telah melakukan 27 laga internasional dengan hanya dua kali meraih kemenangan. Saat dibantai 2-8 oleh Inggris pada 1948, Belanda masih menggunakan formasi 2-3-5. Padahal saat itu formasi W-M sudah menjadi standar seantero eropa. Ini mengakibatkan penyerang inggris memiliki ruang yang sangat leluasa di lini pertahanan belanda.

Saking telatnya, Belanda sampai terlambat untuk mengadopsi filosofi W-M. Sehingga pemikiran untuk melakukan penjagaan ketat satu-lawan-satu tidak benar-benar tertanam pada sepakbola Belanda. Namun itu tidak selalu membawa hal buruk, mereka bisa berekperimen secara bebas dan menemukan gayanya sendiri.

Bapak Sepakbola Belanda disematkan pada sosok Jack Reynold. Pengaruh Reynold sangat ketara karena mengabdi selama 25 tahun sebagai pelatih Ajax selama 3 periode antara 1915 hingga 1947. Ia termasuk yang melandaskan fondasi sistem pemain muda di Ajax yang kelak melahirkan Rinus Michel. Pada sebuah wawancara 1946 ia pernah menyatakan, “bagi saya, menyerang adalah salah satu bentuk pertahanan”. Reynold menyebarkan ide tentang permainan yang selalu bergerak dan tidak mengabaikan ruang.

Ide itu mulai bermekaran saat Vic Buckingham memegang Ajax. Buckingham merupakan pemain Tottenham dibawah asuhan Rowe. Yang sama-sama mengedepankan passing serta possession. Cara Ajax menyerap ide itu melebihi ekpektasi Buckingham. Dengan teknik dan kecerdasan khas Belanda, Ajax menampilkan filosofi possesion yang berbeda. Ajax mampu menjuarai liga pada 1960 dengan rata-rata gol 3.2 tiap pertandingan. Namun pada 1965, Ajax terseok-seok mendekati zona relegasi dan Buckingham dipecat. Rinus Michel datang menggantikannya.

Datang disaat Ajax terpuruk, Michel datang membawa disiplin tinggi. Ia berniat mengembangkan semangat tim serta pendekatan taktik. Salah satu gebrakan Rinus adalah membuat kontrak profesional bagi seluruh pemain, sehingga semuanya kini mendedikasikan diri ke tempat latihan. Kemudian Michel mengganti WM dengan formasi 4-2-4. 4-2-4 bukanlah hal baru semenjak kesuksesan Brazil di piala dunia 1958. Namun di tahun 60an saat formasi ini populer, belanda menjadi sebuah kutub baru.

Dekade 60an merupakan dekade yang penuh revolusi, terutama setelah dua perang besar yang menghabiskan energi. Termasuk revolusi di bidang budaya saat orang-orang melawan sistem tatanan masyarakat saat itu. Banyak pemerintahan diktator bermunculan dan tindakan represif dilakukan, namun Belanda melakukan pendekatan yang berbeda. Belanda percaya bahwa cara menghadapi revolusi anak muda yang tak pernah berakhir adalah dengan memberinya toleransi. Ini kemudian membawa reputasi Belanda sebagai negara yang asik. Secara perlahan Belanda menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia saat itu.

Para jong Ajax, anak asuh Michel saat itu, secara tidak langsung merupakan produk dari kompleksnya dekade 60an. Kemudian ada sosok Johan Cruyff yang menjadi pusat dari revolusi budaya dan sepakbola. Kisah paling diingat saat Cruyff bersikeras menggunakan baju dengan 2 strip, menolak baju 3-garis milik Adidas karena memiliki kontrak pribadi dengan Puma. Cruyff menjadi gambaran perjuangan tentang ide ‘sistem yang universal harus bisa menerima gagasan individu’.

Tanda-tanda sesuatu yang istimewa terjadi saat ajax menghajar Liverpool 5-1 di UCL 1966. Dimana sebelum pertandingan, Bill Shakly sesumbar juara liga Inggris itu akan membantai Ajax, namun prediksi itu berbalik arah. Prestasi Ajax semakin mentereng dengan 4 kali juara liga antara 1966 dan 1970, dan berhasil melaju ke final European Cup 1969 yang sayangnya kalah oleh AC milan.

Meski Ajax terkenal akan serangannya yang cair dengan formasi 4-2-4 nya. Namun Michel memiliki keresahan, bermain dengan 4 penyerang memiliki kelemahan dalam perebutan bola di lapangan tengah. Michel pun bereksperimen dengan formasi 4-3-3 untuk mendominasi pertarungan di lini tengah. Peran ini dijalankan secara baik oleh Johan Neeskens yang sangat terampil dalam menekan musuh, dengan pergerakannya yang seperti pilot kamikaze.

Secara bertahan, Michel meracik sebuah pertahanan yang agresif. Pressing dimulai dari gelandang. Dengan formasi 4 bek, salah satunya akan ikut maju menekan musuh yang datang. Dua pemain di belakang yang mengatasi penyerang musuh, dengan satu pemain terakhir yang bertugas mirip libero. Ajax bermain dengan garis pertahanan yang tinggi dengan tujuan mempersepit ruang musuh untuk berkembang. Sehingga terkadang 433 akan nampak menjadi 343 saat satu bek maju.

Total Football, taktik yang memanipulasi ruang

Saat Michel melatih Barcelona, bek tengahnya adalah Marinho Peres, kapten timnas Brazil. Dimana di Brazil teknik pertahanan tinggi merupakan hal yang aneh. Di Brazil, orang-orang percaya dengan menggunakan suatu trik maka melewati satu bek berarti seperti melewati semuanya, makanya membuat jebakan offside tidak ada gunanya. Namun Michels punya pandangan berbeda. Pressing seperti meremas ruang untuk bermain, sehingga orang-orang yang bermain seperti Brazil tidak punya waktu untuk melakukan trik nya. Fokus Michel adalah memanipulasi ruang.

Hal yang membuat strategi Michel disebut sebagai sebuah revolusi adalah cara para pemainnya dalam melakukan pertukaran posisi. Bukan hanya sekedar antar sisi kiri ke kanan, atau winger ke fullback, Ajax asuhan Michel mampu melakukan pertukaran ke semua posisi, semua lini. Mereka saling mengisi dan memahami tugas rekannya. Keahlian ini terbentuk bukan hanya sekedar mereka yang telah bermain bersama sejak lama, tapi juga pemahaman konsep mengenai manipulasi ruang.

Michel pindah ke Barcelona setelah memberikan gelar juara Eropa untuk Ajax di tahun 1971. Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah ironi. Stefan Kovacs datang menggantikan Michel. Ia dipilih diantara berbagai kandidat karena alasan gaji yang murah. Di masa baktinya kelak ia berhasil memenangkan dua juara liga, dan satu piala belanda. Pada kancah internasional ia mampu meraih dua piala Eropa, satu piala super eropa dan piala antar benua. Meski dengan prestasi mentereng demikian, pengaruh Kovacs tidaklah signifikan, setidaknya para pemain Ajax kala itu menggapnya seperti pelatih tapi rasa asisten.

Apa yang dirasakan Kovacs di Ajax tidak lain karena pendekatannya kepada pemain. Michel dikenal dengan gaya pelatihan yang ketat dan disiplin, sedangkan Kovacs memberikan kebebasan yang lebih longgar. Kovacs datang setelah Ajax menjadi juara Eropa, ia percaya sistem yang dimiliki Ajax sudah sangat mapan, maka salah satu cara mengembangkannya adalah dengan memberikannya kebebasan. Dengan menambah kebebasan, maka sistem akan lebih kreatif dan tidak terbendung. Pendapat Kovacs terbukti benar, di tahun-tahun berikutnya ia mampu mendominasi hampir semua kompetisi yang Ajax jalani.

Tahun 1973 merupakan klimaks, Ajax melaju ke final piala Eropa setelah mengalahkan CSKA Sofia, Munchen, dan Madrid. Kemenangan atas Madrid di semifinal dianggap sebagai momen perpindahan gelar kekuasaan raja Eropa. Di final melawan Juventus Ajax menang 1-0, meski skornya tidak terlalu memukau, hasil ini telah mengantarkan Catenaccio ke peti mati. Kemenangan ini mengukuhkan Ajax sebagai tim, setelah jaman Real Madrid di 1950an, yang berhasil menjuarai eropa 3 tahun beruntun.

Namun kondisi Kovacs di ruang ganti tidak berjalan mulus. Kebebasan yang diberikan oleh Kovacs membawa pada kondisi ‘pemberontakan’. Kovacs tidak dianggap berpengaruh karena tidak memberi perubahan signifikan pada sistem yang ada, meski banyak raihan gelar telah ia berikan. Kovacs akhirnya keluar setelah ada tawaran dari timnas Perancis. Posisinya dilanjutkan oleh George Knobel.

Di bawah Knobel, Cruyff tidak lagi dipilih sebagai kapten. Cruyff lalu pindah menyusul Michel ke Barcelona. Setelah itu kondisi tim mulai rapuh, Knobel dipecat sebelum akhir musim. Knobel kemudian hari mengatakan bahwa tim Ajax terlena oleh kehidupan bebas, minuman dan wanita. Kebebasan menjadi kebablasan. Kebebasan yang diberikan oleh Kovacs mengantarkan Ajax pada kesuksesan, namun itu juga yang membuka jalan pada kehancurannya. 

Totaalfootball kini hidup bersama Michel dan Cruyff di Barcelona.

Related Posts

Posting Komentar