Chapter 11: After the Angels
Chapter ini bercerita mengenai dinamika Argentina menemukan jatidiri sepakbolanya. Dari kejayaan masa lalu yang menyilaukan hingga berakibat sebuah tragedi. Kekecewaan pada kekalahan telak ditambah kecemburuan pada keberhasilan yang diraih rival abadi. Pengalaman traumatik, ditambah situasi politik yang panas, membawa semangat yang baru tumbuh menuju arah yang tidak diharapkan, malaikat pun menjauh. Kegagalan lolos piala dunia dianggap sebagai penebusan dosa yang setimpal. Dan pada akhirnya cerita indah sepakbola Argentina kembali berjaya dengan keberhasilan meraih juara dunia.
Seharusnya Argentina bisa meraih juara piala dunia, setidaknya sebelum Brazil meraihnya lebih dulu. Namun sebuah pukulan telak dialami Argentina saat kalah oleh Czekoslovakia di laga terakhir fase grup piala dunia 1958. Skor 1-6 menjadi alasan bagi seantero negeri untuk merenung. Mereka pulang dengan kekecewaan, dan di saat bersamaan sang tetangga pulang dengan membawa piala. Melihat sejarah rivalitas mereka 3 dekade ke belakang, apalagi saat Argentina pernah melaju hingga ke final piala dunia, Argentina jelas mengalami penurunan.
Saat peraturan offside diterapkan di 1925, banyak klub di Argentina kala itu masih mengadopsi sistem 2-3-5. Namun ide lain juga mulai bermunculan. Salah satunya di river Plate yang kala itu dilatih oleh Emerico Hirschl, seorang Hungaria, menerapkan piramida Danubian. Ide ini dianggap produk impor dari eropa, apalagi ketika Renato Cesarini menggantikan Hirschl.
Cesarini dikenal sangat bergaya Italia. Ia lahir di Italia namun besar di Argentina. Ia sempat bermain untuk Juventus dan menjuarai Scudetti 5 kali beruntun. Di saat yang hampir bersamaan, permainan il metodo ala Pozzo mulai berkembang di Italia. Dan ini mempengaruhi gaya permainan Cesarini yang mendapatkan peran khusus di taktik ini saat di Juventus. Cesarini kelak menerapkan taktik yang hampir mirip il metodo, dengan menugaskan Nestor Rossi untuk menjalankan peran seperti Luisito Monti ala Pozzo.
Pada perkembangannya, kebanyakan inside forward akan bermain lebih ke belakang. Diwarnai dengan banyaknya pertukaran posisi antar pemain, namun Cesarini membawanya pada level yang lebih ekstrem. Felix Lostau, seorang pemain sayap sering diturunkan ke wilayah bek. Mirip tornanti (winger yang mundur) pada sistem Catenaccio. Pergerakan Lostau sangat leluasa sehingga memberikan amunisi tambahan bagi para gelandang, seperti ventilasi yang memberikan udara segar. Sistem ini dikenal dengan la Maquina (spanyol: mesin).
![]() |
Taktik River Plate dibawah Renato Cesarini |
Pertukaran dan perubahan posisi yang dibawa oleh Cesarini menimbulkan sudut pandang berbeda dalam pendekatan taktik, yang juga berdampak pada sistem penomoran yang telah baku kala itu.
Mesin milik cesarini ini menghasilkan gelar juara Argentina pada 1941 dan 1942, serta mendominasi liga Argentina di dekade itu. Gaya permainan ini menjadi inspirasi awal dari La Nuestra, sebutan untuk identitas taktik Argentina. Sebuah permainan santai dan naluriah di tengah, namun tiba-tiba gol datang dengan sendirinya saat sudah di depan.
Kesuksesan La Nuestra seiring dengan prestasi Argentina dalam kancah sepakbola. San Lorenzo, tim asal Argentina, sukses mendominasi saat melakukan tur ke Spanyol dan Portugal pada 1946. Lalu ada Alfredo di Stefano, pemain jebolan River Plate yang membantu Madrid mendominasi eropa dekade 50an. Setelah memenangi copa america 1955 dan 1957, Argentina merasa bahwa mereka adalah tim terbaik di amerika latin. Dan bukan tidak mungkin mereka akan mengukuhkan diri menjadi yang terbaik di dunia tahun depan, piala dunia 1958.
Namun ada hal yang tidak disadari banyak orang Argentina kala itu, adalah bahwa mereka sedang terjebak dalam ilusi kemenangan. Politik isolasi menjadi komponen penting dalam hal ini yang membuat Argentina jarang melakukan laga internasional. Sehingga jarang mendapat kekalahan, alasan untuk merenungi taktik.
Di awal 1958, 3 penyerang timnas Argentina bermain di serie A, kemudian mereka memilih untuk membela Italia. Termasuk Stefano yang juga pindah membela Spanyol. Ini membuat timnas Argentina melemah, namun kepercayaan diri yang tinggi menutupi mata mereka.
Laga perdana piala dunia, Argentina kalah 1-3 dari juara bertahan Jerman Barat. Bukan sebuah hasil memalukan namun ini menunjukkan bahwa mereka tidak sebagus yang mereka gadang-gadang selama ini. Kepercayaan-diri Argentina mulai terkumpul lagi setelah mengalahkan Irlandia Utara di laga kedua grup. Namun peringatan bahaya harusnya sudah mulai disadari, Irlandia Utara bisa menjangkau permainan Argentina yang katanya sangat superior.
Laga terakhir fase grup, Argentina hanya perlu hasil seri untuk lolos. Cekoslovakia bukanlah klub unggulan saat itu namun ternyata Argentina terlalu jumawa. Skor 1-6 membuktikan bahwa Argentina bukanlah tim spesial. Permainan Argentina terlalu mudah dibaca meski memiliki banyak pemain berbakat. Kelemahan yang paling mencolok adalah mereka tidak mengerti apapun mengenai lawan mereka.
Kisruh politik yang menyebabkan isolasi memberikan dampak yang buruk, sepakbola Argentina menjadi tertinggal. Sialnya mereka mesti mengakui perkembangan pesat sepakbola Eropa pada momen yang menyakitkan. Diperparah dengan fakta bahwa sang piala dibawa oleh tetangga sebelah, Brazil. Publik Argentina marah besar, timnas mesti dimodifikasi. La Nuestra mulai diperdebatkan, baik konsep maupun pemilihan pemain. Namun yang pasti, ada etos yang harus dirubah.
Aspek disiplin mulai masuk sebagai langkah ‘modernisasi’. Argentina tidak bisa mengandalkan ‘gaya’ terus. Karena jika begitu, harusnya Argentina bisa ke final bersama Brazil. Aspek fisik juga mulai diterapkan untuk memperbaiki pertahanan yang selama ini diabaikan pada konsep La Nuestra. Boca dan Independiente termasuk diantara yang memulai modernisasi tadi. Mereka menerapkan budaya disiplin ala pegawai pabrik mulai dari latihan fisik, menjaga kebersihan, pola makan dan semacamnya.
Secara umum sepakbola argentina mulai terbagi dua poros; mereka yang ingin menjaga tradisi dan mereka yang merasa telah tertinggal. Awalnya banyak yang ingin mengadopsi sistem Eropa sebagai standar permainan. Namun semangat La Nuestra (inggris: our style) semakin menyebar. Dan semangat ‘gaya kita’ ini secara ekstrem menjadi keegoisan untuk menang.
Juan Carlos Lorenzo termasuk yang membawa perubahan. Ia mencoba menyerap Catenaccio saat memimpin Argentina di piala dunia 1962. Namun ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk menerapkannya. Pada 1966 Lorenzo menerapkan, yang kelak dikenal sebagai, formasi klasik Argentina 4-3-1-2. Di Lapangan taktik ini membentuk diamond (belah ketupat), mirip dengan taktik Wingless Wonders milik Alf Ramsey. Keduanya sempat bertemu pada laga perempat final, Inggris menang dan kelak jadi juara. Perbedaannya Argentina menitikberatkan pada gelandang serang Ermindo Onega, sedangkan Inggris fokus pada gelandang jangkarnya Noble Stiles.
Pasca 1958, perkembangan sepakbola Argentina mengarah pada tindakan kekerasan yang brutal. Hal ini dipercaya karena dipengaruhi situasi politik disana yang sering terjadi revolusi. Hal ini tampak pada laga final Piala antar-benua 1967 yang mempertemukan antara Celtic dan Racing. Dimana banyak kejadian brutal terjadi di dalam dan di luar lapangan. Nampaknya Argentina masih dendam pada Inggris saat kalah tahun lalu di piala dunia.
Namun tim yang dianggap juaranya bermain brutal adalah Estudiantes la plata di bawah asuhan Osvaldo Zubeldia. Pendekatan Zubeldia merupakan contoh puncak dari mentalitas ‘menang dengan segala cara’ dan pantas saja jika permainannya disebut standar nyata dari ‘antifutbal’ yang populer kala itu.
Zubeldia awalnya ia hanya direkrut untuk mempertahankan Estudiantes dari relegasi. Namun nasib bagus mengikutinya. Selain perubahan format kompetisi, ia juga tak menyangka bisa mengembangkan tim menjadi hebat hingga mampu meraih kesuksesan di kancah libertadores (juara 1968, 1969, 1970) dan intercontinental (juara 1968).
Pada 1967 Juan Carlos Ongania naik tahta menjadi presiden. Atas pengaruhnya, format kompetisi berubah menjadi metroplitano-nacional untuk mendorong klub diluar Buenos aires menganggu dominasi 5 klub besar ibukota. Estudiantes akhirnya keluar sebagai juara, dari situ Estudiantes mendapat dukungan dari Ongania untuk menjadi representatif dari dirinya -yang dikenal sebagai diktator-, dan bahkan perwujudan dari sepakbola Argentina. Sebagaimana timnas Italia menjadi perwujudan dari pemimpin fasis Mussolini.
Zubeldia mempelajari musuh hingga ke bagian lebih detail, mencari kelemahan, dan menggunakannya untuk menyerang musuh, termasuk pada aspek psikologis. Ia akan membawa masalah keluarga dan personal ke lapangan, membuat musuh emosi dan tidak terkontrol. Kala itu, menghadapi Estudiantes adalah sebuah pengalaman mengerikan.
Laga piala intercontinental melawan Manchester United 1968 menjadi sebuah laga brutal. Tidak cukup sampai disitu, pada edisi 1969 sebuah pertunjukan horor antara Estudiantes melawan AC Milan yang tidak kalah mencekam. Beberapa pemain bahkan mendapat hukuman penjara. Kejadian brutal ini bukan hanya laga melawan klub eropa saja, di laga libertadores pun permainan kasar terjadi sama brutalnya.
Kartu merah belum diresmikan saat itu, namun segera di piala dunia 1970 sistem ini mulai diterapkan. Meskipun kejadian battle of santiago 1962 dianggap menjadi ide awalnya. Di edisi 1970 ini Argentina gagal lolos, kekhawatiran publik mereda karena antifutbal gagal melaju hingga kancah piala dunia.
Ambisi untuk menghapus trauma 6-1 di 1958 membuat sepakbola Argentina salah tingkah. Mereka selalu dipenuhi rasa takut kalah, membenarkan permainan kasar untuk menutupi kelemahan teknik dan fisik, menghapus keseruan dari permainan indah la Nuestra.
Setelah 1970, permainan fisik sudah tidak lagi populer. Kini publik bernostalgia dengan permainan lama yang mengedepankan keindahan. Untuk itu publik percaya bahwa perlu ada tim yang bisa mengalahkan Estudiantes untuk mengambil alih peran mereka mempromosikan gaya lama. Hal itu dilaksanakan oleh Newells Old Boy dibawah asuhan Miguel Antonia Juarez, meski kelak asistennya yang akan lebih terkenal Cesar Luis Menotti.
Menotti berpendapat bahwa ambisi tim adalah kemenangan, bukan berambisi pada satu taktik tertentu. Dengan begitu keindahan dan kemujuran akan berjalan seiringan. Menotti membuktikannya saat mengantar Huracan juara di 1973, pundit dan publik memuji permainannya. Menotti kemudian ditunjuk menjadi pelatih timnas setelah Argentina tampil buruk di piala dunia 1974. Saat melatih timnas Menotti menerapkan formasi 4-3-3.
Perjalanan Argentina menuju piala dunia 1978 memiliki banyak cerita. Pergeseran ideoligis yang dibawa oleh Menotti diterapkan pada kondisi politis yang bertentangan. Junta militer kembali memegang kendali di 1976, mereka menginginkan sepakbola hadir dengan fisik yang lebih tajam daripada menggunakan seni-seni tidak jelas. Dan fakta bahwa Menotti meraih kesuksesan piala dunia 1978, membuat pemerintah junta mempolitisir ini demi mengimbangi pandangan dunia terhadap pemerintahan junta. Memunculkan spekulasi bahwa pemerintah junta ikut ‘mengatur’ kesuksesan ini.
Desas-desus itu muncul saat Argentina memerlukan kemenangan atas peru dengan skor 4-0. Ada dugaan terjadi lobi-lobi antara pemerintah Argentina dan Peru. Kemudian pertandingan keduanya berakhir 6-0, Argentina berhak melaju ke final. Perlakuan terhadap skuad Belanda di final menjadikan dugaan itu makin kental.
Kontroversi lainnya adalah saat Maradona tidak diajak ke skuad piala dunia. Menotti beralasan usianya masih 17 tahun dan belum siap menghadapi tekanan piala dunia. Cara publik yang membandingkan pele disaat usia yang sama menganggap perlakuan ini tidak adil.
Namun Menotti yang muak dengan itu memberikan pernyataan. Kesuksesan ini adalah penghormatan terhadap generasi emas kita yang hilang, mengungkit kembali kejayaan yang telah kita bangun sejak lama. Permainan Argentina yang bebas dan kreatif telah ada sejak lama sebelum ada junta.
Posting Komentar
Posting Komentar