Chapter 10: Catenaccio
Chapter ini bercerita tentang Catenaccio, sebuah taktik menakutkan yang juga didasari dari rasa takut. Permainan bertahan yang dianggap negatif dan sebuah kemunduran akhirnya bisa menghasilkan prestasi. Kisah tentang ide awal dibalik pembentukannya, penerapan dan perbaikannya, serta bagaimana takdir menuntunnya pada masa keemasan taktik ini.
Internazionale Milan di dekade 1960an terkenal dengan taktik Catenaccio. Taktik yang menyebar di Italia ini dikenal sangat mencekam dengan ciri permainan negatif dan brutal. Pada 1967, Internazionale yang sedang jaya jayanya dibawah asuhan Helenio Herrera bertemu Celtic di Final piala European Cup. Inter pun kalah dan Herrera pun dicemooh oleh banyak pelatih Britania. Herrera bersikeras bahwa ia, atau Catenaccio, dibenci bukan karena buruk. Namun karena orang-orang sulit menyalin idenya seperti dulu Herbert Chapman dengan WM-nya. Tahun 1967 ini dianggap titik balik kesuksesan Catenaccio, sebuah taktik yang cukup rumit dijalankan, namun sejarah pembentukannya sebenarnya sangat sederhana.
Bermula di Swiss oleh seorang Karl Rappan, pesepakbola kelahiran 1905 yang berkarir di masa keemasan Wunderteam Austria. Rappan mengemukanan pandangannya; “ada dua cara dalam membangun tim; pertama adalah mengumpulkan 11 pemain berbakat dan membiarkan mereka mengalahkan musuh (contohnya tim Brazil), kedua adalah mengumpulkan pemain medioker dan mengitegrasikan mereka dalam sebuah konsep. Konsep ini harus mampu mengerahkan kemampuan pemain untuk keutamaan tim. Namun kesulitannya adalah mendisiplinkan mereka tanpa menghilangkan kebebasan mereka dalam berpikir dan beraksi”.
Solusi Rappan dikenal dengan verrou (indonesia: baut pengaman /selot; italia: catenaccio). Konsep ini bermula dari pola 2-3-5 namun dengan dua wing-halves yang turun mengapit para fullback sehingga terbentuk formasi 4 bek. Ketika serangan masuk dari kanan maka dua pemain di kiri nya bergerak ke arah bola, dan pemain fullback-kanan (secara konteks adalah bek tengah) akan lebih mundur mengantisipasi bola liar. Begitu juga sebaliknya sehingga tim selalu memiliki pemain lebih. Pemain ini disebut verouller dan kelak disebut libero dalam sistem Italia. Sebuah evolusi sebagaimana Chapman menciptakan peran bek ketiga.
Kelemahannya adalah lini tengah tim yang akan terkurung saat menghadapi W-M. Di atas kertas tim akan tampak seperti 433 di masa sekarang. Dengan 3 penyerang yang akan berhadapan dengan 3 bek musuh, lalu di sisi pertahanan juga akan terjadi 3 lawan 3 (tanpa menghitung verouller yang bermain bebas). Tersisa center-half vs inside-forward di tengah, atau lebih tepatnya, 1 center-half yang akan melawan 2 inside-forward musuh. Artinya ketidakseimbangan ini akan menyerahkan posession tengah kepada musuh.
Kondisi lebih buruk saat menghadapi formasi piramida suci 2-3-5,dimana center-half akan berhadapan dengan 3 musuh (2 inside forward dan 1 center-half). Kondisi ini memaksa Rappan untuk bermain mundur (drop deep) dan pemain depan turun membantu pertahanan. Seiring sistem berkembang, satu pemain tengah ini ikut turun ke belakang bermain bersama 4 bek, kemudian salah satu fullback (secara de facto posisi bek tengah) mundur dan ditugaskan menjadi verouller/libero tetap membentuk formasi 5-2-3.
Rappan memperoleh juara dengan Servette dua kali, dan Grashopper 5 kali, namun prestasinya dengan timnas Swiss adalah yang paling menonjolkan efektifitas sistem ini. Di kontestasi piala dunia 1938, Swiss dianggap tim yang paling lemah dengan berbagai performa buruknya. Setelah Rappan masuk di 1937, Swiss mampu mengalahkan Inggris di laga persahabatan, lalu di turnamen mengalahkan Jerman (yang diisi pemain Austria karena peristiwa anschluss) 2-1. Meski tersingkir setelah kalah 0-2 dari Hungaria, hasil ini lebih baik dibanding edisi sebelumnya. Verrou mulai dibicarakan secara luas, namun tidak lebih dari sekedar cara tim kecil menyulitkan tim yang lebih unggul.
Tidak mengherankan jika sitem serupa juga muncul di Soviet, mengingat maraknya taktik the organized disorder ala Boris Arkadiev disana. Sebuah sitem yang dikenal dengan Volzhskaya Zashchepka, atau Volga Clip. Sistem ini bermula dari WM, bukan 2-3-5, meski ide dasarnya sama; yakni pemain center-half yang turun ke belakang dan menjadi penyapu bola liar.
Adalah tim Kyrlya (sekarang Samara), dibawah asuhan Alexander Kuzmich Abramov, yang menjalankan taktik itu. Abramov bukan seorang pesepakbola profesional pada umumnya, ia hanyalah seorang ahli gymnastic. Makanya tidak heran pikirannya terbebas dari dogma sepakbola. Ia selalu berdiskusi dengan timnya sebelum menghadapi musuh, dan taktiknya selalu diluar pakem umum. Sebuah media pernah menyebutnya sebagai ‘penghianat terhadap idealisme sepakbola Russia’ karena idenya menurunkan bek ketiga lebih mundur ke belakang.
Ketika Kyryla menghadapi tim besar seperti Dynamo Moscow, dengan lima penyerang nya yang terkenal buas, maka pemain tengah akan turun untuk membantu pertahanan. Kyryla menjalankan man-marking yang cukup fleksibel, mencakup area yang lebih luas. Para pemain mampu saling terkoneksi dengan baik. Sistem ini mampu membuat musuh menjadi frustasi dalam menyerang.
Kesuksesan The Volga Clip tidak bisa diabaikan begitu saja, Kyryla yang terpuruk di musim 1946 bisa meningkatkan performa di tahun berikutnya termasuk mampu mengalahkan musuh kuat seperti Dinamo dan CDKA. Mereka juga mampu mencapai Final Soviet Cup di tahun 1953. Namun sistem ini hanya berkembang eksklusif di Kyryla.
The Volga Clip sering dianggap sebagai salah satu cara mengatasi tim yang lebih superior. Itu hanya sebuah strategi responsif terhadap kondisi musuh, bukan strategi yang dibuat atas kehendak sendiri. Baut dan klip tumbuh lebih subur di Italia.
Beberapa teori berkembang tentang penemu Catenaccio di Italia. Pengaruh Rappan tidak bisa diabaikan apalagi letak Swiss bertetangga langsung dengan Italia, yang secara historis saling mempengaruhi. Namun cerita terkuat mengarah kepada Gipo Viani, pelatih Salernitana, karena ia menggunakannya secara reguler disertai prestasi yang cukup diperhitungkan.
Salernitana berhasil promosi ke Serie A di tahun 1947 menggunakan sistem yang kelak dikenal dengan “Vianema” (Viani sistema; sistem milik si Viani). Salernitana memiliki rekor bertahan yang bagus di liga bawah, namun sayangnya di Serie A mereka hanya bertahan satu musim saja. Meski begitu, sistem Catenaccio menyebar menjadi perbincangan hangat seantero negeri. Klub-klub kecil kini memiliki cara untuk mengatasi tim besar. Banyak tim melakukan penyesuaian untuk mengikuti sistem ini, sayangnya kebanyakan hanya melakukannya sebagai taktik dadakan, bukan sistematik.
Sentuhan baru pada aspek penyerangan dipoles oleh Nereo Rocco, pelatih legendaris AC Milan kelahiran Trieste. Kemudian ada Alfredo Foni, pelatih Internazionale, yang menjalankan Catenacccio sebagai sebuah sistem dan berhasil menghasilkan tropi. Kini Catenaccio bukan lagi dimiliki eksklusif oleh tim lemah.
Di tangan Foni, pemain sayap kanan Gino Armano disuruh mundur untuk menempel sayap kiri musuh. Peran ini kemudian dikenal sebagai tornanti -the returner- pemain depan yang mundur ke belakang untuk membantu pertahanan. Kemudian bek kanan, Ivano Blason, mundur dan mengambil alih peran libero.
Blason adalah salah satu pemain penting dalam sejarah libero. Ia tidak kenal kompromi dan selalu menghantarkan bola jauh ke depan. Permainan Inter akan berporos pada kemampuan Blason. Di saat musuh masuk ke wilayahnya, maka Blason akan mengirim bola layaknya mortar, ke ruang kosong di depan yang akan diekploitasi oleh pemain depan.
Variasi lain muncul dengan mendorong pemain di posisi inside forward untuk mengisi ruang yang ditinggalkan tornanti, menjadikannya penyerang tengah bayangan. Dari sini sepertinya pola formasi Italia mulai terbentuk.
Inter berhasil menjalankan sistem Catenaccio dengan meraih scudetti pada tahun 1952-51. Dengan catatan golnya cukup revolusioner, memasukkan-kemasukan 46-24. Berbanding jauh dengan Juventus juara musim lalu dengan rekor 98-34.
Namun Milan merah lah yang mengenalkannya ke seantero Eropa melalui tangan dingin Nareo Rocco. Rocco datang ke Milan sebagai penerus Viani yang telah lebih dulu membawa sistem ini ke Milan. Saat itu Viani berhenti melatih karena alasan kesehatan, namun tetap menjadi bagian direksi Milan. Rocco dikenal sudah menggunakan bentuk Catenaccio sejak menangani Triestina dan Padova. Pertemuannya dengan Viani di Milan seolah menjadi takdir baik bagi Catenaccio. Milan berhasil melaju ke final Champion Eropa Cup tahun 1963 dan 1969, piala Winners Cup tahun 1968, 1973, dan 1974 memenangi semuanya kecuali pada 1974. Internazionale juga berhasil mendapatkan juara pada 1964 dan 1965 dengan sistem ini.
Godfather of Catenaccio jatuh pada Helenio Herrera. karena sifat teliti dan disiplin yang dimilikinya dianggap mencerminkan etos dari Catenaccio itu sendiri. Ia merupakan ‘orang terpilih’ karena suatu hari pernah terhindar dari kecelakaan pesawat. Ia lahir di Buenos Aires, lalu dibawa ke Maroko oleh orangtuanya karena alasan administrasi. Saat remaja ia bermain bola di racing Casablanca sebelum ditemukan oleh seorang pemandu bakat dan dibawa ke Paris. Karirnya terbilang biasa saja apalagi di usia 25 tahun ia harus pensiun dini karena cedera lutut. Lalu ia memilih menjadi pelatih.
Herrera seorang yang perfeksionis, ia tidak percaya pada konsep keberuntungan. Ia berpendapat bahwa semua bisa dikontrol, dan bisa diperbaiki termasuk mental pemain. Bisa dibilang ia adalah pionir dalam urusan psikologi olahraga. Ia menekankan seluruh pemainnya untuk melakukan motivasi afirmasi positif setiap pagi. Ini terbukti efektif, terlebih saat itu Barcelona, tim asuhannya, selalu terintimidsai oleh dominasi Madrid. Setiap sebelum pertandingan ia juga melakukan sebuah ritual dengan para pemain membentuk lingkaran dan berkata, “kita bermain bersama, dan kita akan menang!”. Begitupun di Inter, ritual yang ia jalani semakin kompleks. Ia mengurung pemainnya selama tiga hari sebelum pertandingan untuk berkonsentrasi. Serta mengumpulkan para istri pemain untuk mempersiapkan nutrisi yang baik bagi pasangannya.
Herrera dipecat oleh barcelona pada tahun 1960 setelah kalah agregat 2-6 dari Madrid di semifinal European Cup (UCL). Dengan reputasi dan prestasinya Herrera layak disejajarkan dengan Bela Guttman untuk menjadi pelatih paling diinginkan oleh seantero Eropa kala itu. Kemudian datang tawaran dari kota Milan. Pemilik Inter saat itu, Angelo Moratti, telah memecat 12 pelatih dalam 5 tahun, sangat berhasrat meraih kesuksesan.
Dua laga pertama dilatih oleh Herrera, Inter mulai menggebrak dengan kemenangan 5-1 dan 6-0, mereka finish di posisi ketiga. Tahun depannya Inter meraih posisi kedua dengan hasil gol yang hanya kalah oleh sang juara, Juventus. Meski begitu, Moratti tidak cukup puas dan bahkan sempat membawa calon pelatih baru ke tempat latihan Inter. Namun Herrera masih memiliki satu kesempatan lagi musim depan. Herrera sadar itu dan ia merasa perlu melakukan perubahan.
Herrerra mencopot satu pemain tengah dan menambah satu pemain bertahan sebagai sweeper. Kemudian menjadikan Fachetti sebagai tornanti (pemain sayap yang mundur). Fachetti sejatinya adalah seorang penyerang, maka itu ia diberi izin untuk menekan lebih ke depan. Di depannya ada Corso, bukan pemain cepat namun sangat lihai membongkar pertahanan musuh. Corso biasanya sering terhubung dengan penyerang utama di depan.
Kemudian posisi bek kanan ada Jair. Kemampuan bertahan Jair biasa biasa saja, namun ia suka berlari mengekploitasi ruang di depannya, sehingga sangat membantu membawa bola lebih ke depan. Di tengah ada Bedin yang berdiri di depan para bek. Ia merupakan orang yang paling sering berlari mengejar dan menjegal musuh. Di dekat Bedin ada Suarez, yang umpan jarak jauhnya sangat akurat. Suarez menjadi pemain utama ketika Inter berhasil merebut possession.
Ketika inter berhasil merebut bola, para pemain akan mengirim bola ke Jair untuk dibawa ke depan, atau dibiarkan di kaki Suarez yang nanti akan mengoper jauh ke depan. Di depan, bola akan diselesaikan oleh dua penyerang, atau Jair dan Fachetti yang masuk ke tengah.
![]() |
Terbentuknya Catenaccio |
Efektifitas sistem milik Herrera tidak perlu dipertanyakan lagi, Inter meraih scudetti pada 1963, 1965,dan 1966. Di 1964 juga berada di puncak bersama Bologna, namun inter kalah di laga playoff. Inter berhasil juara European Championship (UCL) di tahun 1964 dan 1965 serta berhasil mencapai final lagi di 1967.
Kendati begitu, bukan kesuksesan ini yang membuat orang-orang iri, namun ada rumor gelap yang mengikuti Herrera dan Inter di periode itu. Herrera, selain lekat dengan penyalahgunaan narkoba dan pengaturan pertandingan, dikenal tidak memiliki hati kepada pemainnya. Pernah ketika ayah Guarneri meninggal sebelum pertandingan melawan AC Milan, namun Herrera merahasiakannnya hingga selesai pertandingan. Juga kisah tentang pemain AS Roma Guiliano Taccola yang meninggal saat Herrera melatih. Taccola yang baru menjalani operasi dipaksa untuk tetap ikut latihan dan diajak ke sardinia menemani tim melawan Cagliari. Meskipun tidak ikut bertanding, Taccola menonton dari pinggir lapangan dan setelah pertandingan usai ia mendadak ambruk dan meninggal beberapa jam kemudian di rumah sakit. Kemudian di tahun 2004 (sumber wikipedia) diketahui bahwa Taccola merupakan korban penyalahgunaan narkoba saat itu.
Inter juga dikenal terbiasa mengatur pertandingan, dugaan itu pertama muncul saat Inter bertemu Dortmund di semifinal European Championship 1964. Pemain Inter Suarez menendang kaki Hoppy Kurat yang mengakibatkannya cidera. Ini memberikan keuntungan besar bagi inter. Namun wasit kala itu, Branko Tesanic tidak mengambil keputusan apapun. Tidak banyak yang memperhatikannya namun di musim panas kala itu Tesanic didapati sedang liburan dan mengaku bahwa liburan itu disponsori oleh Inter.
Pada laga Final di Vienna, Inter berhasil mengalahkan Real madrid. Inter berhasil meredam Di Stefano dan Puskas, bintang pada masa itu. Di tahun berikutnya, pola serangan Inter makin membaik tanpa mengurangi fokus bertahan nya. Pada laga perempat-final UCL 1965 Inter berhasil bertahan dari gempuran Rangers setelah menang 3-1 di leg pertama. Kemudian di laga semifinal melawan Liverpool asuhan Shankly, Inter berhasil membalikkan kekalahan 1-3 menjadi 4-3. Inilah yang mengukuhkan superioritas catenaccio ala Herrera, pola bertahan solid dengan serangan yang mematikan.
Dibalik kemenangan Inter atas Liverpool tadi, ada sentimen negatif yang bermunculan. Catenaccio menjadi kontroversi karena dibalik kesuksesannya terdapat cara-cara kotor yang ikut andil dalam pertandingan. Setidaknya itulah sudut pandang Shankly mengapa ia membenci catenaccio. Tak heran ketika Inter kalah oleh Celtic di Final European Championship 1967, Shankly sangat antusias mengatakan bahwa Catenaccio telah usai.
Catenaccio di dekade itu menjadi tren. Namun sama halnya seperti WM ala Chapman, semakin banyak tim menyalin-nya maka taktik itu malah tampak semakin semrawut. Karena tidak semua tim memiliki komposisi skuad yang sama.
Kelemahan Catenaccio (dan variasinya) telah dikemukakan oleh Rappan sejak lama; yakni lini tengah yang terkurung. Beberapa tim menurunkan pemain sayap sebagai solusi, namun justru itu malah mengorbankan penyerangan. Inter beruntung memiliki pemain berbakat seperti Corso dan Jair yang mampu bermain lebar, serta Suarez yang mampu mengirim umpan jauh. Bagi tim lain, lini tersebut menjadi masalah serius.
Pada penerapannya, banyak tim tidak mendorong fullback sebagai libero, tetapi mengambil dari pemain inside-forward. Sehingga ketika meraih possession, libero akan maju lebih ke depan untuk menjadi opsi passing. Ciri khas ini yang dikenal dengan istilah the italian game.
Catenaccio dikenal sebagai dikenal karena negativitasnya, bermain ultra-defensif dan terkadang diwarnai permainan kasar. Setelah kekalahan Inter di final melawan Celtic, Catenaccio masih terus berlanjut meski bukan lagi menjadi taktik yang tak terkalahkan. Permainan gaya menyerang terlihat lebih menjanjikan di masa mendatang.
Posting Komentar
Posting Komentar