Chapter 9: The Birth of the New
Sepakbola sama seperti kehidupan, hal-hal baru lahir setiap hari, dan setiap hal lama akan menjadi usang. Pesepakbola yang handal di jaman dulu belum tentu bisa menjadi hebat di masa sekarang, setidaknya tidak dengn cara-cara dulu. Chapter ini bercerita mengenai kebangkitan sepakbola modern, tentang tokoh yang menebar benihnya, serta cara dunia menanggapinya.
Tampaknya publik Inggris sudah kecanduan permainan yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan fisik. Kritik para pundit pun mengamini hal ini. Mengambil contoh dari kekalahan Match of The Century di 1950an hingga kegagalan Inggris lolos Euro 2008 setelah kalah 2-3 dari Kroasia. Keduanya berjarak hampir satu abad namun bermuara pada kesimpulan yang sama; bahwa sumber kegagalan permainan Inggris adalah karena mengabaikan aspek teknik.
Namun begitu, aspek kecepatan tidak bisa dianggap sepenuhnya buruk. Karena pada kenyataannya permainan cepat di medio 60 atau 70an masih lebih lambat dibanding pertandingan era milenium sekarang ini. Aspek kecepatan dengan skill dribbling yang menonjol, menjadi primadona pada masa itu. Beberapa pemain seperti Garrincha dan Stanley Matthew “the wizard of dribble” terkenal karena tekniknya saat menggiring bola. Namun hal seperti itu tidak berlaku lagi di sepakbola era baru.
Pudarnya pesona driblling bukan karena hilangnya selera untuk bermain cepat, namun karena adanya upaya penyempitan ruang terhadap para dribbler tadi. Dengan terbatasnya ruang, maka kemampuan pemain untuk berkreasi semain sempit dan driblling menjadi tumpul. Ide untuk mempersempit ruang ini kemudian akan membawa revolusi besar pada taktik sepakbola secara umum; ide itu dikenal dengan ‘pressing’.
Pressing adalah hal mendasar yang membedakan sepakbola lama dan baru (modern). Ide ini menjadi populer saat diterapkan oleh Arrigo Sacchi di AC Milan, namun Rinus Michel di Ajax dan Lobanovskyi di Dinamo Kyiv telah menerapkannya bertahun-tahun. Perkembangan permainan tidak menyebar merata meskipun idenya sangat sederhana. Tapi jika harus ada orang yang disebut sebagai bapak sepakbola modern maka ia adalah Viktor Maslov.
Maslov dikenal sebagai sosok yang hangat dan mengayomi. Karirnya sebagai pelatih termasuk cemerlang karena berhasil mengantarkan Torpedo Moscow dua kali runner-up liga Soviet termasuk juara pada 1960. Ia dikenal sebagai pelatih inovatif dengan ide pressingnya. Kepindahannya ke ibukota Ukraina membuatnya lebih leluasa dalam mengembangkan taktiknya.
Pada masa itu menjadi juara tidak hanya membutuhkan kemampuan teknis, namun juga diperlukan kemampuan lobi-lobi politik. Karena kedekatannya dengan salah pejabat partai berkuasa di ukraina, Maslov mampu merekrut seluruh pemain terbaik untuk merapat ke Dynamo. Para pemain itu tergiur pada janji manis para pejabat seperti jaminan keamanan dan apartemen elit. Dan pada saat yang sama, Maslov mampu untuk menjadi sosok yang disegani.
Maslov memiliki pendekatan yang konsultatif terhadap para pemainnya, dimana hal itu masih jarang pada saat itu. Ia bisa menerima masukan yang diberikan oleh pemain. Ia memperlakukan semua pemain seperti anaknya. Singkatnya, kedekatan ini membuat Maslov dan para pemainnya menjadi saling percaya, dan inilah yang menjadi modal utama mereka dalam menjalankan inovasi taktik. taktik yang cukup radikal pada masa itu.
Soviet dibawah asuhan Gavril kachalin mampu meraih emas Olimpiade 1956 dengan formasi W-M, namun dengan melihat tren sepakbola yang diperlihatkan Brazil pada 1958, Kachalin mulai menerapkan 4-2-4. Sayangnya penerapannya kurang efektif dan formasi ini menjadi kambing hitam atas performa Soviet yang tidak konsisten di piala dunia 1962. Namun seiring bersinarnya metode yang dibawakan Brazil ini, perdebatan taktik di Soviet semakin dinamis.
Alf Ramsey mendapatkan kredit sebagai penemu formula peredam taktik Brazil setelah keberhasilannya di 1966, namun pada saat yang sama dicap sebagai pembuhun kreatifitas pemain sayap karena memainkan formasi tiga gelandang. Tidak ada yang menduga bahwa Maslov juga menemukan ide 3 gelandang, atau bahkan formasi 4-4-2. Banyak yang luput pada buruknya komunikasi antara Soviet dan Barat saat itu, sehingga inovasi Maslov dianggap terpengaruh dari barat. Padahal Ramsey membentuk tiga gelandang dari pola 4-2-4, sedangkan Maslov meraciknya bermula dari WM.
Keduanya juga menghasilkan korban dalam membangun karya taktiknya. Sebagaimana Ramsey mengorbankan Peter Thompson meski memperoleh gelar pemain terbaik di liga. Maslov juga banyak mengorbakan pemain berbakat di posisi sayap. Yang paling kontroversial adalah Lobanovskyi, murid terbaiknya yang kelak melanjutkan visinya. Perdebatan sering kali diangkat, namun kesimpulan yang banyak diamini para peracik taktik adalah; tidak peduli sebagus apapun bakat seorang pemain, jika ia tidak mampu dalam membentuk kolektivitas, maka ia tidak akan memperoleh tempat di dalamnya.
Salah satu inovasi Maslov adalah memaksimalkan penggunaan playmaker yang pada masa itu sering tidak jelas. Playmaker sering menjadi titik awal pengatur serangan, namun sering juga dilewati. Pada saat bertahan playmaker juga tidak memiliki tugas untuk menempel musuh. Sehingga alih-alih menjadi nyawa permainan karena memiliki peran bebas, playmaker masa itu malah lebih sering dianggap beban karena tidak banyak membantu. Melalui tangan dinginnya, Maslov mampu menjadikan Biba sebagai playmaker tangguh layaknya Bobby Charlton di tangan Ramsey.
Kemudian ada inovasi yang terlupakan; Zonal marking. Ide ini yang sebenarnya telah diterapkan oleh Zeze Moreira di Brazil sejak 1954 dan menjadi landasan penting saat berhasil mendominasi dunia pada 1958 dan 1962. Namun ide ini sulit diterima publik Soviet, alasannya karena zonal marking tidak semudah pemain menjaga wilayahnya begitu saja. Bisa saja ada kondisi kalah jumlah, atau si pemain terpaksa membantu pemain di zona lain dan meninggalkan zona aslinya. Namun Maslov percaya bahwa zonal marking adalah solusi nyata dalam taktik yang ia bangun. Ia mengatakan bahwa man-marking adalah hal yang hina, pemain seperti diadu banteng dengan seorang musuh. Dan karena itu juga Maslov merasa bahwa sebuah tim harus kolektivitas yang bagus.
Satu-satunya pemain yang memiliki tugas man-marking adalah Biba, playmaker tengah milik Maslov. Biba diberikan peran bebas untuk menentukan terget markingnya. Melalui kemampuan teknik dan kepemimpinannya ia akan mengajak tim untuk menjalankan suatu sistem marking yang paling optimal, seolah ia adalah pelatih di dalam lapangan. Dan Biba pun berpendapat bahwa jika ia memiliki tugas man-marking maka perlu ada titik bertahan yang statis di belakangnya. Supaya bek sayap bisa membantunya untuk menghadang musuh serta maju melakukan serangan balik. Dari ide itu kemudian Maslov menempatkan seorang gelandang bertahan di depan 4 bek. Gunanya sebagai pemecah gelombang dan garis pertahanan pertama.
Pada penerapannya, empat gelandang di lapangan mengejar musuh seperti gerombolan hewan buas. Menjegal musuh, merebut bola, serta menutup ruang dan peluang yang tidak terduga. Tampak seperti permainan gegenpress masa kini. Karena strategi pressing yang diterapkannya ini, tak heran Maslov pantas dijuluki bapak sepakbola modern.
Strategi pressing menuntut kebugaran dan stamina bagus karena pemain akan bergerak secara konstan sepanjang pertandingan. Melihat hal ini, maslov pun melakukan terobosan. Maslov dikenal sebagai pelatih Dynamo pertama yang melakukan pendekatan terhadap persiapan fisik pemain seperti asupan atau nutrisi. Kelak Lobanovskyi menambahkan aspek ilmiah pada pendekatan ini. Bisa dibilang, ide Maslov ini menjadi cikal bakal dari sport science hari ini.
Konsep pertahanan zonal Maslov terbukti efektif. Statistik kejebolan tim Dynamo semakin berkurang semenjak kedatangan Maslov. Ini membuat kritik terhadapnya mereda. Jurnalis senior Soviet, Martin Merzhanov, memberikan ulasan di 1967 bahwa zonal-marking lebih efektif daripada man-marking karena didasari rasa saling pengertian dan saling mempertahankan.
Namun sistem ini pun bukan tanpa cela. Kala itu Lobanovskyi datang kembali sebagai pemain Shaktar dan sangat berambisi untuk mematahkan sistem Dynamo. Saat kebanyakan tim memilih bertahan saat melawan Dynamo, Lobanovskyi malah mengusulkan pelatih untuk membanjiri pertahanan Dynamo, dan ini terbukti membuat Dynamo kewalahan. Lobanovskyi mampu menunjukkan kelemahan dari Dynamo. Taktik ini kemudian digunakan oleh lawan Dynamo di liga Eropa. Meskipun Dynamo mampu menang dari juara bertahan Celtic, namun akhirnya Dynamo kalah dari Gornik Zabrze, juara liga Polandia.
Namun Inovasi Maslov terus berlanjut. Ia mampu merubah pendekatan permainan tim sesuai kondisi musuhnya, sesuatu yang sangat jarang pada masa itu. Seolah Dynamo Kyiv memiliki dua skuad berbeda. Yang satu bermain dengan gaya petarung yang kombatan namun sederhana, sedangkan satunya lagi lebih ke gaya “selatan”, permainan kombinasi dengan tempo yang sulit ditebak. Hebatnya adalah perubahan dua sistem ini terjadi begitu mudah. Hanya dengan satu-dua perubahan dan permainan tim langsung berubah drastis.
Maslov berpikir lebih jauh, ia meramalkan bahwa konsep dua striker akan tergantikan oleh satu striker. Ia menganggap bahwa jika tekanan semakin meningkat maka perlu ada proses efisiensi untuk menjaga keseimbangan. Konsep ini belum sempat Maslov realisasikan di Dynamo, meski begitu ini akan segera terwujud di manajemen berikutnya serta di Ajax. Dengan menghitung penerapan zonal marking dan permainan pressing, Maslov telah meletakkan sebuah fondasi besar.
Tahun 1981, Dynamo meraih gelar ke liga ke 10 dibawah asuhan Lobanovskyi. Para jurnalis membahas bahwa tim Dynamo saat itu mampu menyerang simultan, ketika para penyerang kelelahan maka para gelandang maju menggantikan peran para penyerang tadi. Para pemain mampu untuk saling mendukung dan melindungi. Konsep ini disebut universalitas, sebuah purwarupa (prototype) dari apa yang kelak kita kenal sebagai Total Football. Orang-orang mengira itu diciptakan di Belanda, padahal mereka hanya terpaku pada Eropa Barat dan acuh terhadap perkembangan di belahan dunia lain.
Sayang sekali Maslov dipecat tahun 1970 oleh Dynamo setelah mengalami performa buruk di liga. Alasan dibalik turun nya performa Dynamo dipercaya karena skuadnya yang banyak dipanggil untuk membela timnas. Sama seperti kejadian tahun 1966, namun tahun itu Dynamo memiliki tim muda yang cukup mumpuni untuk mempertahankan performa. Maslov kemudian pulang kampung dan melatih Torpedo (Moscow) dimana ia berhasil menjuarai Soviet Cup. lalu pindah ke Ararat Yerevan dan juga menjuarai Soviet Cup lagi. Namun sepertinya Maslov sudah kehilangan semangatnya.
Maslov meninggal pada 1977 di usia 67 tahun. Lobanovskyi, anak asuhnya yang sempat ia buang, memastikan konsep Maslov tetap berjaya. Dynamo berhasil memenangkan Winners Cup (kompetisi antar-klub Eropa masa itu) tahun 1975 dan 1986. Meskipun pengaruhnya tidak secara langsung seperti Jimmy Hogan, pengaruh Viktor Maslov sangat berdampak dibanding pelatih lain semasa itu.
Posting Komentar
Posting Komentar