Chapter 8: The English Pragmatism (1)
Chapter ini bercerita tentang pendekatan pola pikir orang-orang inggris terhadap sepakbola. Dari anggapan sepakbola sebagai latihan rutin, pemujaan terhadap permainan direct, pendekatan dalam menemukan formula kemenangan paling jitu, serta perjalanan terbentuknya formasi legendaris Inggris saat menjuarai piala dunia 1966.
“Setidaknya sepakbola lahir di inggris”, pemikiran inilah yang bermuara pada keengganan orang Inggris melakukan pembaharuan. Bahkan bisa dibilang mereka ketinggalan kereta evolusi dalam dunia sepakbola. Tahun 60an, Inggris memiliki Stan Cullis sebagai salah satu pelatih paling progresif yang mampu mendominasi tanah Britania. Namun klub Wolves asuhannya kalah telak oleh Barcelona dengan agregat 9-2 pada 1960. Semenjak Inggris dibantai Hungaria beberapa tahun belakangan ini, dunia percaya superioritas Inggris hanyalah sebuah mitos.
Orang-orang menyalahkan taktik WM sebagai penyebab keterpurukan Inggris, namun taktik yang populer sejak 30an itu nyatanya masih umum digunakan. Bahkan ada yang percaya bahwa kejayaan Inggris bisa diraih kembali dengan taktik piramida suci 2-3-5, taktik usang yang sudah ditinggalkan beberapa dekade silam. Saat wilayah lain mengembangkan taktik lebih meriah, Inggris malah berusaha kembali ke masa primitif.
Manchester City pernah berusaha mengikuti taktik Hungaria di tahun 1954/55. Don Revie yang berperan sebagai deeplying-forward mendapatkan gelar pemain terbaik musim itu. Masalah antara klub dan Revie membuat mereka berpisah. Mengakibatkan Man City kembali bermain dengan cara tradisional. Revie pun kesulitan di klub barunya. Sangat disayangkan, momentum pembaharuan itu pupus begitu saja.
Kejayaan klub Britania di tanah Eropa seperti Hibernian dan Manchester United pun bukan karena inovasi, tapi karena mereka mampu melaksanakan sistem lama dengan baik. Dua klub tadi contohnya, mereka memainkan 5 orang saat menyerang, memberikan tekanan konstan pada pertahanan musuh. Bagi Inggris, klub tadi bermain sangat cair saat menyerang, namun tidak secair seperti standar Eropa saat itu.
Tottenham Spurs mungkin adalah klub paling radikal saat itu, ini juga punya sejarah dengan gaya umpan pendek ala Skotlandia. 1949, Tottenham dilatih oleh Arthur Rowe yang seorang Hungaria. Salah satu pemain terkenalnya Alf Ramsey, seorang bek kanan yang memiliki mindset menyerang. Ia memiliki ide sederhana, 'penyerangan bisa dimulai dari bek'. Gaya bermain ini sukses mengantarkan Tottenham pada kesuksesan kala itu. Sayangnya pembaharuan sering dianggap aneh di Inggris, maka tak heran kesuksesan Tottenham dilihat dengan mata sinis.
Inggris bermain secara pragmatis, mengedepankan hasil ketimbang cara bermain. Tidak heran aspek fisik sering digunakan sebagai senjata utama. Pada aspek bertahan, dimana negara seperti Italia membangun sistem catenaccio, Inggris hanya bermain aman didasari rasa ketakutan. Inggris biasanya menumpuk pemain di belakang, menunggu lawan masuk kemudian merebut bola dengan gencar seperti evakuasi kebakaran.
Fisik dan pragmatisme menjadi faktor penentu terbesar pada sebuah pertandingan yang sangat diingat antara Wolves dan Honved pada desember 1954. Pertandingan kala itu dilaksanakan di lapangan berlumpur. Selain menguras fisik, tanah lumpur juga mengganggu permainan umpan-umpan pendek Honved. Honved yang diperkuat oleh Puskas dkk dianggap sebagai jelmaan Hungaria pada level klub. Sehingga kemenangan ini membuat Inggris seolah berhasil membalaskan dendam.
Bahkan saking lamanya Inggris menanggung malu, sebuah media Inggris menulis berita utama, “Wolves sang juara dunia”. Padahal seminggu sebelumnya Honved dikalahkan oleh Red Star Belgrade, yang berada di posisi 7 di liga Yugoslavia, dan Partizan berada di puncak klasemen. Namun baik Belgrade maupun Partizan tidak ada yang mengaku sebagai juara dunia. inilah yang kemudian nantinya menjadi ide awal liga antar klub di Eropa.
Pelatih Wolves kala itu, Cullis, dikenal sebagai pemikir yang progresif namun memiliki mindset pragmatis. Ia lebih mengutamakan koordinasi tim, karena pertunjukkan skill individu dianggap dapat mengurangi efektifitas tim meraih kemenangan. Ia memperhitungkan setiap fase pada pertandingan sepakbola secara logis dan terstruktur.
Meskipun Inggris kalah 3-6 dari Hungaria, pertandingan itu mendukung pola pikir Cullis tentang efektifitas permainan. Ia menemukan bahwa dari total 6 gol Hungaria, hanya satu yang berasal dari oper-operan di areanya. 3 gol dari gerakan-dengan-3-kali-umpan, 2 gol dari 2-kali-umpan, dan satu tendangan penalti. Cullis berpendapat bahwa bola perlu berada di kotak penalti musuh dengan segera. Jika bola berlama-lama di luar kotak penalti musuh, maka kesempatan untuk mencetak gol akan berkurang.
Pendapat Cullis semakin menjadi saat ia merekrut Charles Reep. Reep adalah seorang asisten yang suka menganalisis statistik pertandingan. Reep memiliki latar belakang militer dan minat pada sepakbola, ia sempat menjadi staff di RAF (cabang khusus sepakbola kemiliteran). Ketertarikan Reep pada statistik kelak menjadikannya pionir analisis statistik sepakbola. Kekuatan statistik Reep dan Pragmatisme Cullis akhirnya bersinergi.
Dimulai ketika Reep mendampingi tim RAF yang mengamuk di liga regional, termasuk kemenangan 12-1. Ini membuatnya ditarik ke klub Brentford sebagai asisten paruh-waktu. Masukan analisisnya membuat Brentford berhasil meningkatkan performanya, dari 31% menjadi 69% kemenangan, 1,5 menjadi 3 gol per pertandingan, menyelamatkan klub dari degradasi. Salah satu masukan dari Reep adalah; “Posisi paling efektif merebut bola dari musuh adalah di wilayah sepertiga musuh”. Gaya gegenpress Liverpool era Klopp akhir-akhir ini mungkin berawal dari ide ini.
Beberapa pendapat Reep mungkin dianggap konyol, namun beberapa yang lainnya terbukti berhasil. Reep pernah menyatakan, rata-rata perlu 9 kali percobaan untuk terjadi sebuah gol. Lalu untuk mencapai posisi tembak, setidaknya rata-rata 3 kali upaya untuk mencapai posisi itu. Artinya dalam satu pertandingan perlu 27 kali umpan ke wilayah musuh untuk bisa menghasilkan satu gol. Dan dengan menggunakan longpass maka kondisi itu akan lebih cepat terpenuhi.
Tidak heran mengapa Reep dianggap telah menghancurkan seni indah permainan sepakbola. Upaya Reep untuk memakmurkan direct-football dikritik karena tidak memasukkan unsur lain. Misalnya upaya tim yang bermain umpan passing untuk membuat musuh kelelahan, atau tim yang bermain mengandalkan situasi bola-mati. Jonathan Wilson menyatakan, “Anti-sains bisa saja menghasilkan hal buruk, namun percaya pada sebuah pengetahuan palsu (pseudo-science) bisa membawa hasil yang lebih buruk”.
Reep adalah pemuja fanatik gaya direct football, dan pengaruhnya dianggap menghancurkan seni indah dari sepakbola. Namun tujuan sebenarnya Reep adalah berusaha membangun gaya menyerang dengan cara paling efektif. Statistik milik Reep dan insting milik Cullis saling mendukung. Kerjasama keduanya membuahkan hasil manis di Wolves. Hingga akhirnya banyak orang Inggris mengikuti pandangan mereka tentang permainan efektif, menganggapnya sebagai cara bermain paling benar.
Hingga pada 1966 saat Inggris meraih satu-satunya kesuksesan mereka, juara Dunia. Dimana hal ini juga yang menjadi malapetaka bagi sepakbola Inggris. Bagaimana tidak, kesuksesan itu membuat orang-orang berpikir bahwa gaya permainan Timnas Inggris yang diasuh oleh Alf Ramsey kala itu, dianggap sebagai blueprint mutlak untuk meraih kesuksesan. Sehingga hampir seluruh pelosok negeri memaksakan gaya permainan itu sebagai kurikulumnya. Namun saat orang-orang mulai gagal meraih hasil dari blueprint tersebut, menyalin tanpa memahami, serta malas untuk berevolusi, mereka mulai menyalahkan Alf Ramsey.
Alf Ramsey adalah seorang yang realistis, ia memulai taktiknya dari hal sederhana. Ramsey mampu mengoptimalkan kekuatan yang ada untuk memperoleh hasil yang lebih baik, lagi-lagi tentang bermain efektif.
Alkisah saat Ramsey melatih di Ipswich, ia mendapati pemainnya Jimmy Leadbetter memiliki kontrol bola yang bagus namun lemah dalam hal kecepatan. Ramsey mencoba menempatkannya di posisi winger, dimana kala itu umumnya winger memiliki kecepatan untuk menusuk pertahanan musuh. Namun Ramsey memiliki pertimbangannya sendiri, ia ingin memanfaatkan kemampuan Leadbetter saat menguasai bola. Leadbetter diinstruksikan untuk berlama-lama dengan bola dan mengurangi jumlah tusukan dari sayap. Hasilnya, bek-bek musuh kesulitan untuk menempel Leadbetter yang bermain lebih dalam, karena jika ditempel maka bek akan meninggalkan posisinya, ruang kosong ini akan menjadi keuntungan bagi sang striker. Akhirnya taktik ini memberikan hasil bagus bagi Ipswich, Ramsey pun kemudian dipanggil menjadi pelatih timnas Inggris.
Saat melatih timnas, ada kebijakan bahwa skuad dipilih oleh sebuah panitia. Ramsey menentang ide ini, ia mengatakan, ”Timnas kita diisi oleh orang-orang hebat, tapi apa gunanya jika bermain tampa sebuah rencana, sebuah strategi”. Akhirnya ide ramsey dikabulkan dan ia bisa memilih pemain sesuai rancangan permainannya.
Perkembangan taktik Ramsey diawali saat Inggris mengikuti turnamen Nation’s Cup pada 1964. Sebelum turnamen, Inggris sempat mampir ke Amerika Serikat dan menang 10-0. Namun pada pertandingan pertama melawan Brazil, Inggris malah kalah 1-5. Pertandingan berikutnya melawan Portugal menghasilkan skor imbang 1-1. Pada pertandingan terakhir melawan Argentina, Inggris berusaha mencari hasil positif. Namun Argentina yang kala itu hanya butuh hasil seri untuk juara, bermain bertahan. Inggris mengamuk menekan Argentina terus-terusan, namun Argentina terus menunggu di belakang.
Dari kompetisi ini Alf Ramsey menyadari perbedaan jauh antara sepakbola Inggris dengan dua negara Latin tadi. Selain itu, pola strategi bertahan Argentina menyadarkan bahwa pentingnya bermain dengan rencana atau taktik. Argentina bermain dengan rencana, “jika musuh tidak bikin gol, maka kita tidak akan kalah”. Rencana itu berhasil dan bahkan memberikan hasil kemenangan 1-0 untuk Argentina.
Ide awal Ramsey adalah menerapkan formasi 4-2-4 dimana saat itu taktik W-M dengan 3 bek masih umum di Liga Inggris. Alasan utamanya karena dengan 4 bek bisa menutup ruang bagi winger musuh. Dengan 4 bek, bek kanan bisa menutup serangan dari winger musuh di sisinya dengan bantuan cover dari bek tengah. Namun keunggulan ini hanya berlaku saat melawan tim lemah. Lawan-lawan yang lebih tangguh biasanya memiliki pemain winger yang mampu mencari celah, oleh karena itu Ramsey merasa perlu memainkan seorang gelandang bertahan yang fokus menutup ruang di depan keempat bek itu. Dengan adanya gelandang jangkar ini, musuh yang berusaha menghindari hadangan bek akan berhadapan langsung dengannya. Di timnas Inggris, Stiles memainkan peran ini dengan sangat baik.
Gelandang yang satunya lagi, yang biasanya diperankan oleh Bobby Charlton, bertugas lebih sering membantu 2 penyerang di depan. Saat menyerang, formasi tampak menjadi 3 penyerang. Posisi ini mirip 3 penyerang ala Hungaria dimana Hindegkuti (penyerang tengah) mundur ke belakang. Perbedaannya, Charlton memulai posisinya dari belakang untuk maju ke depan.
Wilayah tengah kini menjadi renggang karena pemain jangkar juga lebih banyak holding di belakang. Oleh karena itu Ramsey menarik kedua sayapnya untuk lebih rapat ke tengah lapangan. Alasan pertama karena ia ingin menyeimbangkan lapangan tengah. Alasan kedua karena ia berusaha mengkploitasi kelemahan musuh di sayap. Dimana kebanyakan tim kuat saat itu bermain dengan formasi 4-2-4, beberapa memainkan bek sayap overlap untuk membantu serangan.
Ramsey menginstruksikan kedua pemain ini akan lari melebar mengekploitasi celah diantara bek dan sayap musuh sesaat setelah mendapatkan possession. Ia berniat menyergap celah yang ditinggalkan oleh bek yang maju, atau setidaknya membuat bek itu ragu untuk maju. Beruntung Inggris memiliki Alan Ball dan Martin Peters, keduanya mampu bermain seperti winger namun juga memiliki kreatifitas seperti peran center-half (playmaker pada masa itu). 4-1-3-2 begitulah taktik “the wingless wonders” ini dikenal karena tidak adanya winger tradisional.
![]() |
Wingless Wonders, taktik hebat tanpa pemain sayap |
Sebenarnya pemain winger bukanlah hal langka di Inggris, seperti misalnya Peter Thompson. Thompson adalah pemain terbaik liga Inggris saat itu dan dijuluki “white pele”. Ia menjadi andalan Bill Shankly mendominasi liga Inggris dekade itu. Namun winger Liverpool ini dikenal bermain terlalu flamboyan sehingga ia tidak sesuai dengan pendekatan Ramsey.
Ramsey berhasil menjuarai piala dunia 1966 dengan menggunakan taktik ini. Ia banyak dipuji karena mampu bermain “efektif” dengan mengurung kreatifitas winger musuh, serta menghambat bek sayap musuh untuk berkembang. Namun seiring perjalanan waktu, sebagaimana budaya Inggris selama ini, kata “efektif” lebih cocok disebut “pragmatis” karena nyatanya keseriusan mengejar kemenangan jadi sering mengorbankan permainan yang indah dan menyenangkan. Ide ini terus berkembang di Inggris seiring Ramsey memimpin tim nasional. Publik dunia perlu berterimakasih pada Jan Domarski, gol nya ke gawang Inggris di 17 Oktober 1973 membuat Inggris gagal kualifikasi ke piala dunia, Ramsey pun dipecat.
Jika Ramsey harus dibenci, itu tidaklah lain karena pertarungan abadi antara hasil melawan estetika dimana kita tahu posisi Ramsey. Namun Ramsey juga punya alasannya tersendiri, “saya dibayar untuk meraih kemenangan”, itu.
Posting Komentar
Posting Komentar