Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 7

Chapter 7: Harnessing the Carnival

Bela Guttmann mengklaim bahwa ia telah mengimpor 4-2-4 ke tanah Brazil. Ini masih diperdebatkan karena sebenarnya formasi ini sudah berkembang disana sebelum kedatangan Guttman. Bahkan sepakbola Brazil lebih dari sekedar formasi 4-2-4. Kombinasi taktik, sentuhan teknik individu, termasuk juga ide pemikiran, semua aspek sepakbola di brazil sangat beragam. 4-2-4 membuatnya lebih meriah. Chapter ini menceritakan perkembangan sepakbola Brazil serta bagaimana timnas mereka menemukan pakem taktiknya saat mendominasi dunia di akhir tahun 50an, setelah kegagalannya di awal dekade.

Identitas Brazil yang lekat dengan sepakbola diawali dari pada tahun 1888 saat hukum perbudakan dihapus. Pada masa itu sepakbola sedang menyebar ke seantero dunia termasuk wilayah Amerika Latin. Para (mantan) budak menggunakan sepakbola sebagai hiburan serta alat pemersatu diantara mereka. Ini yang kemudian menjadikan sepakbola Brazil melekat dengan kesan meriah, merakyat, dan penuh perlawanan.

Sama seperti negara Latin lainnya, perkenalan Brazil dan sepakbola diawali dari komunitas dan Inggris yang ada disana. Oscar Cox, keturunan Inggris-Brazil, mendirikan klub Fluminense di kota Rio de Janeiro. Ia dan tim nya bertandang ke kota Sao Paulo bertemu tim Charles Miller, yang juga keturunan Inggris-Brazil. Kebanyakan klub di Brazil didirikan oleh keturunan Inggris-Brazil, sehingga cara bermain mereka cenderung mengikuti cara orang Inggris bermain, yakni mengutamakan dribbling.

Seperti di Inggris, cara bermain dribbling mendapat perlawanan dari permainan passing. Permainan passing ala Skotlandia dibawa oleh Jock Hamilton saat ditunjuk untuk melatih CA Paulistano. Hamilton merupakan salah satu dari kelompok pelatih yang dikontrak oleh Bradshaw di Fulham, yang melatih Jimmy Hogan kala itu. Lucunya, karena Hamilton berasal dari tanah Britania, maka orang-orang Brazil menyebut cara bermain passing ini sebagai “Sistema Ingleza”, cara bermainnya orang Inggris. Ditambah lagi komunitas Skotlandia mendirikan klub Scottish Wanderers di Sao Paulo, dimana mereka menggunakan passing sebagai gaya bermain mereka.

Pengaruh dribbling Inggris bertahan lebih lama di Brazil dibanding di Argentina dan Uruguay. Namun begitu, Brazil memiliki ciri khas tersendiri pada cara dribblingnya, yang dikenal dengan “samba”. Meskipun istilah samba baru dikenal saat 1958, saat Brazil menjadi juara dunia, namun cara dribbling dengan penuh teknik dan gerakan lincah seperti tarian sudah melekat lama.

Robert Damatta, seorang ahli antropolog, menyebutkan “jeitinho” sebagai jati diri orang Brazil. Jeitinho ini adalah kepercayaan diri pada masyarakat Brazil yang ekspresif dan imajinatif, yang memunculkan kreativitas individu dalam menghadapi masalah. Ini yang kemudian menggambarkan “cara brazil bermain sepakbola” penuh dengan kelincahan, spontanitas, dan eksentrik. Berbading terbalik dengan cara Eropa pada umumnya.

Pada November 1919 sebuah majalah olahraga di Sao Paulo menekankan “Brazilian Innovation” sebagai artikel utamanya. Disebutkan bahwa pemain permainan Inggris sering mengupayakan bola untuk lebih dekat ke gawang sebelum ditembakkan. Sedangkan Brazil lebih suka menembak dari posisi mana saja karena yang lebih utama adalah tembakan yang presisi dan tepat sasaran. Juga pemain Inggris terobsesi pada serangan yang terorganisir. Sedangkan Brazil menganggap bahwa dengan dua atau tiga pemain, menggunakan kecepatan tinggi dan serangan tak terduga, sudah cukup untuk mengacak-acak pertahanan musuh.

Banyak pundit sepakbola Inggris yang membela, mereka beranggapan bahwa gaya inggris juga mengedepankan tembakan langsung di depan gawang musuh, sedangkan pendekatan yang kurang langung dimiliki oleh gaya Skotlandia. Dan menyebutkan tim Scottish Wanderer memberikan bias pada penilaian. Namun satu hal yang pasti, gaya permainan Brazil menekankan pada ekspresi individu dibanding kolektivitas tim.

Lemahnya Brazil pada pendekatan kolektivitas tim mengakibatkan kelemahan pada aspek pertahanan tim. Terbukti pada Copa Amerika 1917, Brazil kebobolan 4 gol dari Argentina dan Uruguay. Brazil berhasil menjuarai Copa edisi 1919 karena memainkan seorang fullback murni yang tidak ikut maju saat menyerang. Dari situlah Brazil sadar akan pentingnya bertahan.

Sepakbola Brazil sulit berkembang pada masa itu. Keberhasilan Brazil juara Copa kedua kalinya pada 1922 pun diwarnai kontroversi. Keberhasilan Brazil menjadi juara Copa 1949 dan 1989 diwarnai faktor tuan rumah. Makanya tidak heran jika Brazil menjadi tuan rumah, maka mereka akan menjadi favorit juara. Termasuk di piala dunia 1950 saat Brazil menjadi tuan rumah.

Di Piala dunia edisi 1930, kontroversi pemilihan pemain bermuara pada hasil buruk. Kekalahan dari Yugoslavia gagal mengantar Brazil ke babak berikutnya. Pada edisi 1934, Brazil langsung tersingkir di pertandingan pertama setelah kalah dari Spanyol. Namun Brazil tidak langsung pulang, mereka berkunjung ke Yugoslavia untuk bertanding. Yugoslavia yang tidak lolos piala dunia mampu mengalahkan Brazil 8-4. Brazil bermain dengan cara yang kuno, dan sesuatu harus berubah.

Taktik WM yang tenar di era 1930an masuk ke Brazil dibawa oleh Gentil Cardoso saat ia melatih klub Sirio Lebanes dan Bonsucesso. Disana ia melatih Leonidas, topskor piala dunia 1938. Pengenalan konsep WM oleh Cardoso tidak berjalan mulus karena masih dianggap asing oleh orang Brazil. Selain itu, Cardoso tidak cukup tenar untuk mempopulerkannya. Adalah Dori Kurschner yang mampu menularkan WM ke Brazil.

Dori Kurschner adalah pemain senior klub MTK saat Jimmy Hogan melatih di klub itu. Kurschner kemudian menjadi suksesor Hogan. Kurschner termasuk pelatih brilian karena mampu membawa Grasshopper mendominasi liga Swiss selama satu dekade. Salah satu prestasi terbaikknya saat mengantarkan Swiss mendapat medali perak di Olimpiade Paris 1924.

Prestasi mentereng inilah yang mambawa Kurschner ke Brazil. Jose bastos Padilha, Presiden Klub Flamengo yang saat itu baru saja berinvestasi pada pembangunan stadion baru, membutuhkan pelatih ternama untuk melengkapi ambisinya mendominasi liga Brazil. Ia membutuhkan pelatih yang cakap dengan gaya Danubian serta, lebih bagus lagi, memiliki relasi langung dengan Jimmy Hogan. Hogan sering dianggap sebagai Bapak dari Sepakbola Austria, Hungaria, dan Jerman. Kehadiran Kurschner memulai revolusi sepakbola di Brazil, akan mendapuk Hogan sebagai Kakeknya sepakbola Brazil.

Sebagaimana umumnya, revolusi tidak berjalan lancar. Kendala pertama adalah adanya semacam hirarki pada posisi pemain. Pemain tengah half-back enggan bermain lebih mundur sejajar dengan full-back. Apalagi kala itu pemain yang mengisi posisi ini adalah Fausto dos Santos “the black wonder”, bintang Brazil di piala dunia 1930. Presiden klub sampai harus turun menengahi perseteruan ini dengan membela Kurschner. Ini menjadi kisah awal dari Kurschner mendobrak tradisi di Brazil.

Bagusnya Fausto dalam bertahan mendorong Kurscher menjalankan formasi WM ala Inggris, meskipun sejatinya ia adalah penganut 2-3-5 Danubian. Namun sebenarnya peran Fausto lebih mirip peran Monti di taktik “the metodo” ala Pozzo. Dimana Fausto turun menjadi bek ketiga saat bertahan, dan ikut naik ke atas saat menyerang. Meskipun saat itu taktik ala Kurschner tampak fokus pada pertahanan, namun secara permainan tidak kaku dan tidak negatif seperti ala inggris. Nasib Kurchner di Flamengo tidak bertahan lama karena target yang tidak tercapai. Namun dampak taktiknya berpengaruh luas. Penggunaan WM atau tiga bek mulai familiar di Brazil.

Flavio Costa, asisten Kurchner yang naik menggantikannya melatih Flamengo, bertahan pada pakem yang ditinggalkan Kurschner dengan 3 bek. Perbaikan yang dilakukan Costa adalah pada 4 pemain tengah, dua halfback dan dua inside forward. Costa menekankan kedua inside-forward untuk berbagi tugas menyerang dan bertahan. Hal yang sama diinstruksikan pada kedua halfback, satu pemain lebih mendukung penyerangan dan satunya yang lain menopang pertahanan. Ini kemudian menimbulkan posisi tidak simetris pada pada 4 pemain tengah, menampakkan pola jajar genjang atau “The Diagonal”.

Pola ini sebenarnya bukan hal baru, Costa hanya meresmikan apa yang selama ini menjadi kebiasaan tak tertulis, yakni pembagian tugas ‘lebih bertahan - lebih menyerang'. Dengan posisi 4 pemain tengah yang membentuk jajar genjang, maka tidak sulit memutarnya menjadi pola diamond. Pemain winger sedikit mundur untuk menciptakan trek lari. Kini formasi di lapangan akan menjadi 4-2-4.  Keunggulan formasi ini adalah banyak segitiga yang terjadi antara pemain untuk melakukan perpindahan bola. Sehingga taktik menjadi cair dan mampu mendukung permainan individu yang ekspresif.

Terbentuknya The Diagonal, taktik legendaris Brazil

Keberhasilan taktik ini mengantarkan Costa kepada kursi pelatih timnas Brazil yang saat itu akan menghadapi piala dunia 1950. Faktor tuan rumah membuat publik Brazil menaruh harapan paling tinggi untuk menjadi juara. Brazil bermain bagus pada awalnya, mengalahkan musuh bebuyutan Yugoslavia di fase grup. Mengantarkan Brazil ke fase final yang berupa grup dengan 4 tim.

Di fase final ini, Brazil dengan mudah melibas Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Menyisakan satu pertandingan penentu dengan Uruguay di laga terakhir. Uruguay datang dengan hasil meragukan saat menyelamatkan hasil seri dengan Spanyol, dan hanya mampu merebut kemenganan atas Swedia di menit-menit akhir. Hasil seri bagi brazil sudah cukup untuk menjadi juara. Apalagi dengan dua kemenangan meyakinkan di awal, Brazil seperti sudah di puncak, hanya menunggu formalitas untuk menjadi juara. Begitu tinggi euforia dan harapan warga Brazil saat itu.

Namun sepakbola Uruguay sudah jauh lebih maju, mereka tidak menyerah begitu saja. Juan Lopez, pelatih Uruguay, mengamati kelemahan Brazil. Satu-satunya hasil minor Brazil adalah seri dengan Swiss. Lopez memperhatikan formasi bek Swiss yang menaruh satu fullback lebih dekat ke kiper, dan fullback satunya menjadi bek tengah. Kedua wing-half kemudian turun untuk menjaga winger Brazil. Swiss secara efektif menjalankan formasi 1-3-3-3, ini kemudian disalin dan dikembangkan oleh Lopez.

Pertandingan final akhirnya dimulai di stadion Maracana, Rio de Janeiro. Skor tetap imbang kacamata hingga turun minum. Di babak kedua Uruguay fokus menyerang sisi kanan. Sisi ini merupakan sisi rentan dari Brazil dengan pola diagonal nya. Dengan Halfback Danilo bertugas lebih maju ke depan. Maka otomatis Bigode bertahan sendiri di pos bek kiri. Penyerang Uruguay berhasil memanfaatkan ruang di pos tersebut dan mencuri gol. Pada akhirnya Uruguay lah yang menjadi juara dunia, bukan Brazil. Kekalahan ini menjadi sebuah tragedi tersendiri bagi publik Brazil. Maracanazo (tragedi Maracana) ibarat bom atom Hiroshima yang membuat seantero negeri menangis.

Kekalahan ini juga menjadi sebuah ironi secara taktik. Inovasi taktik WM Brazil mampu mengalahkan semua tim yang bermain dengan taktik WM. Sedangkan Uruguay tidak bermain WM, mereka bermain dengan meninggalkan satu bek di belakang. Taktik yang hampir serupa dijalankan oleh Brazil saat meraih gelar pertamanya di Copa America 1919.

Brazil menyalahkan rapuhnya pertahanan di pola WM mereka. Mereka cemburu pada rigiditas dan negativitas ala pemain Inggris. Di sisi seberang, Inggris menyalahkan kurangnya kemampuan teknikal pemain saat mereka terbantai oleh Hungaria. Masing-masing memiliki sudut pandangnya dan memang tidak ada satu cara paling benar. Setiap kultur selalu meragukan kekuatannya dan mengganggap rumput tetangga lebih hijau.

Kegagalan Brazil di Piala Dunia 1950 meskipun mencetak 22 gol membuat pecinta sepakbola Brazil setuju bahwa perlunya meningkatkan sisi pertahanan. Ini yang mendorong pihak Federasi untuk mengganti Flavio Costa yang lebih menyerang dengan Zeze Moreira yang lebih bertahan. Hasilnya lumayan berhasil, pada piala dunia berikutnya Brazil lolos ke perempat final sebelum dikalahkan oleh generasi emas Hungaria. Pertandingan tersebut dikenal dengan “Battle of Berne” yang menghasilkan banyak kartu merah, namun yang menarik adalah kedua tim tadi sama-sama memainkan formasi 4-2-4.

Masih simpang siur siapa penemu asli formasi 4-2-4. Formasi ini awalnya muncul dari dinamisme taktik di lapangan, bahkan salah satu variasi dari Organised Disorder ala Soviet bisa menghasilkan 4-2-4. Diagonal ala brazil, serta penyerang yang mundur ala Hungaria, juga bisa menimbulkan formasi 4-2-4. Beberapa pelatih di Brazil yang mengembangkan 4-2-4 di klubnya. Martim Francisco adalah yang pertama mengenalkan istilah “quarto zagueiro” atau bek ke-empat saat melatih Vila Nova. Namun yang paling kentara adalah Fleitas Solich yang mengantarkan Flamengo juara liga tiga kali beruntun pada 1953-55.

Modifikasi 4-2-4 Brazil memiliki dua unsur penting; zonal marking dan penyerang ujung tombak. Man-marking menjadi sumber masalah di final 1950, oleh karena itu tim perlu memiliki sistem pertahanan yang lebih fleksible, itu adalah zonal marking. Formasi 4-2-4 memberikan ruang bagi fullback untuk ikut maju saat menyerang, ini memerlukan perlindungan yang memadai di lini pertahanan. Bek ke-empat akan turun ke belakang dan memperhatikan penyerang musuh yang masuk ke wilayahnya. Dengan fokus zonal marking, maka bek tidak akan meninggalkan ruang kosong lagi.

Kedua adalah peran ujung tombak. Ada dua pemyerang tengah pada formasi 4-2-4, satu penyerang bertugas untuk menjadi ujung tombak yang fokus mencetak gol dan penyerang lainnya bermain sedikit ke belakang untuk menghubungkan dengan para gelandang. Taktik Hungaria sudah menjalankan fungsi ini, Kocsis sebagai ujung tombak dan Puskas sebagai penyerang satunya lagi. Di Brazil, peran seperti Puskas dimainkan oleh Pele.

Bela Guttmann mengklaim bahwa ia telah mengimpor pola 4-2-4 dari Hungaria ke Brazil. Namun yang terjadi sebenarnya lebih kompleks, 4-2-4 sudah ada sebelum kedatangan Guttmann. Filosofi 4-2-4 Hungaria dan Brazil sebenarnya mirip. Perbedaannya hanya pada penomoran baju, atau pemain yang mengisi pos penyerang. Di Hungaria, penyerang tengah nomor 9 mundur dan berperan sebagai playmaker. Sedangkan di Brazil peran playmaker dijalankan oleh pemain nomor 10, dimana penyerang nomor 9 menjadi ujung tombak utama.

Jika Guttmann mengklaim pengaruhnya, maka itu adalah cara penggunaan 4-2-4 dalam mencapai tujuannya. 4-2-4 ala Hungaria terkenal lebih to the point dalam mencari gol, dimana warna Brazil terkesan lebih gemulai. Guttmann dengan watak kerasnya mampu ‘menjinakkan singa’ di Sao Paulo, mempersembahkan gelar juara liga. Pengaruh Guttmann diteruskan oleh asistennya, Vicente Feola. Tak lama berselang, Feola ditunjuk sebagai pelatih timnas Brazil untuk menghadapi piala dunia 1958. Performa Brazil saat itu sangat meyakinkan hingga mampu mengangkat tropi pertamanya.

Brazil menjaga dominasinya dengan mengulang kesuksesan pada piala dunia berikutnya di Chile, 1962. Formasi 4-2-4 menjadi pakem utama Brazil, namun alasan utama kesuksesan Brazil dalah filosofinya. Gaya permainan flamboyan mengakibatkan pemain hebat tumbuh subur disana. Skill bagus dari para pemain inilah yang meningkatkan ketajaman dari taktik 4-2-4, dan menjaga kekuatannya saat taktik ini dijalankan dengan berbagai variasi.

Pada piala dunia 1962, Brazil memainkan formasi menyerupai 4-3-3 karena sayap mereka, Garrincha, bermain lebih mundur. Kemampuan dribbling garrincha sangat bagus, ini membantu Brazil untuk melakukan serangan tak terduga dari pos nya berada. Disaat musuh terfokus menjaga Garrincha, pemain Brazil lainnya mampu memberi kejutan dari sisi lain. Kunci dari kekuatan Brazil adalah kemampuannya berinovasi. Sehingga musuh-musuhnya sulit untuk mengimbangi.

Brazil dan Inggris seolah tumbuh menjadi dua kutub, konservatif dan inovatif. Inggris menggangap sepakbola sebagai latihan untuk ditekuni, sedangkan Brazil menganggapnya sebagai sebuah permainan untuk dinikmati. Kesuksesan formasi 4 bek ala Hungaria dan Brazil selama lebih dari satu dekade belakangan, membuat formasi WM mulai usang dan dilupakan.

Related Posts

Posting Komentar